MODUL 2 KEGIATAN PEMBELAJARAN KEDUA SEJARAH FILSAFAT BAHASA PERTEMUAN KE 4 DAN 5 TANGGAL 8 DAN 15 APRIL 2015

MODUL 2
KEGIATAN PEMBELAJARAN KEDUA
SEJARAH FILSAFAT BAHASA

PERTEMUAN KE 4 DAN 5
TANGGAL 8 DAN 15 APRIL 2015

MATA KULIAH FILSAFAT BAHASA
DOSEN PENGAMPU: AGOES HENDRIYANTO, M.Pd


A.      Pendahuluan
Bahan Ajar Filsafat bahasa modul kedua kegiatan pembelajaran kedua ini berisi gambaraan tentang: Peranan Filsafat bahasa dalam kehidupan manusia, perkembangan filsafat bahasa pada jaman Yunani,  perkembangan filsafat bahasa pada jaman pertengahan, dan  perkembangan filsafat bahasa pada jaman Modern. Sub bab peranan filsafat bahasa bagi kehidupan manusia dimulai dari adanya bukti tertulis yang berhasil dikumpulkan dan dipelihara sampai sekarang.  Bukti tersebut menandakan bahwa pada masa tersebut telah terjadi komunikasi yang mempergunakan tanda, simbol atau lambang yang tersistem yang digunakan untuk alat komunikasi manusia saat itu. Selain itu juga berisi perkembangan filsafat bahasa pada jaman pertengahan disertai dengan tokoh-tokohnya.  Begitu juga pada perkembangan filsafat bahasa pada jaman pertegahan dan modern senantiasa berisi sudut pandang para tokoh pada jaman pertengahan dan modern. 

Setelah mempelajari bahan ajar  Modul kedua Sejarah Filsafat diharapkan mahasiswa akan dapat:
1.       Mahasiswa mampu untuk menguasai konsep dan teori para filsuf pada jaman Yunani, pertengahan dan modern;
2.       Mahasiswa dapat mengelompokkan filsafat bahasa berdasarkan dua landasan berpikir logika dan bahasa;
3.       Mahasiswa dapat menemukan teori dan konsep pada masa lalu yang dapat diterapkan dan digunakan sebagai solusi pemecahan masalah pada masa kini;
4.       Mahasiswa dapat meneladani karakter filsuf dari jaman Yunani sampai jaman Modern terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
5.       Mahasiswa dapat mengetahui betapa pentingnya peranan filsafat bahasa bagi kehidupan manusia yang selalu menggunakan objek bahasa.
A.      Perkembangan Filsafat Bahasa dalam Kehidupan Manusia
Filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf tentang hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat itu sendiri telah berlangsung sejak Jaman Yunani. Dimana perkembangan problem-problem filsafat pada jaman tertentu dipengaruhi oleh pasang surut perhatian filsuf.  Suatu perubahan yang sangat penting terjadi ketika para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Dengan demikian persoalan yang timbul pada saat itu dapat diselesaikan dengan analisis bahasa.  Hal itu dapat dilakukan karena permaslahan yang ada belum terlalu komplek, dan daya pikir manusia masih sangat dipengaruhi oleh kaum bangsawan, gereja, atau pemuka agama.  Dengan demikian setiap persoalan yang timbul pada masa itu dapat disimpulkan dengan menggunakan analisis bahasa yang biasanya terpusat di gereja atau kerajaan.  Hal ini tidak dapat kita lakukan pada masa modern ini banyaknya ahli menyebabkan multitafsir terhadap norma hukum, norma agama dan norma adat yang menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya.
Sebagai satu contoh problem filsafat yang terjadi pada masa Yunani yang menyangkut pertanyaan: keadilan, kebaikan, kebenaran, hakikat ada, dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya yang dapat dijawab  dengan metode analisis bahasa. Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat yang sudah berkembang sejak dahulu yaitu sebelum jaman Yunani. Dimana para filsuf mulai sadar akan peran analisis bahasa sebagai alat untuk menjelaskan masalah-masalah filsafat.  Bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat (Davis,1976; dalam Kaelan, 2002;5).  Dengan demikian para penguasa, filsuf, tokoh agama, tokoh negara, tokoh masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak selalu mempergunakan analisis bahasa. 
Penggunaan analisis bahasa mulai diperhitungkan sejak semakin kompleknya persoalan manusia dimulai dari jaman Yunni yng telh mengenal bahasa tulis dan lisan. Walaupun pada masa itu manusia masih sangat mempercayai adanya sesuatu yang gaib yang sifatnya abstrak tidak berwujud.  Manusia pada jaman kuno yang mempercayai adanya kekuatan yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala atau sifatnya abstrak yang tidak mampu untuk memecahkan setiap persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia jaman kuno.  Mereka mempercayai adanya dewa tetapi pada saat diperlukan tidak bisa menjawab setiap persoalan yang dihadapi manusia saat itu. Dengan semakin kompleknya persoalan yang dihadapi manusia menyebabkan peran dari mitos tidak mampu lagi untuk menjawabnya.  Sebab mitos-mitos pada jaman dahulu tidak mampu meyakinkan manusia sehingga terjadilah krisis dalam kehidupan intlektual maupun hidup moralnya. Mulai saat itu manusia mulai mempergunakan bahasa sebagai sarana untuk menjawab persoalan hidupnya. 
Manusia mulai merenungkan dirinya dan mulai sadar akan peran bahasa dan hubungannya dengan realita dari sudut yang berbeda. Pada era itu analitik filsuf mulai berkiprah untuk mengeritik, menjelaskan, dan mengungkapkan konsep-konsep filosofinya melalui analisis bahasa. Bersama dengan berjalannya waktu merebak pula reaksi tokoh-tokoh Postmodernisme yang mengakar ke berbagai bidang kehidupan manusia yang sekali lagi juga menggunakan media bahasa sebagai pijakannya terutama konsep dekonstruksinya.
B.      Perkembangan Filsafat Bahasa pada Zaman Yunani
Menurut Simon Petrus L. Tjahjadi, (2004)  filsafat  Yunani dimulai sekitar abad ke-6 SM,  jaman ini sering disebut juga sebagai zaman peralihan dari mitos ke logos.  Sebelum masa ini, banyak orang yang bercerita tentang alam semesta dan kejadian di dalamnya terjadi berkat kuasa gaib, seperti adanya kuasa para dewa-dewi buktinya adanya mitos kerap sekali ditemukan di dalam sastra-sastra Yunani. Menurut Cassirer (1987:170) pemikiran filsafat Yunani bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa.
Pada zaman Yunani tersebut banyak tokoh yang muncul sesuai perkembangan filsafat seperti Sokrates, Plato, Aristoteles. Itulah tokoh filosof yang sangat berpengaruh dalam perkembangan filsafat. Selain itu ada juga yang di kenal dengan mazhab stoa. Nama stoa menunjukkan tempat belajar atau tempat menuntut ilmu. Kelompok ini dikenal dengan filsuf yang ahli logika cukup berperan dalam perkembangan filsafat, contohnya saja kaum stoa telah membedakan antara studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara gramatiks.
1. Masa Pra Sokrates,
Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya menjadi semakin kental, dan saat itu muncul persoalan filosofis yaitu apakah bahasa itu dikuasai oleh alam, nature atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos. Pada masa Pra-Socrates muncul pendapat yang memperdebatkan bahasa itu bersifat konvensional (nomos) atau alamiah (fisei). Fisei menyatakan bahwa bahasa bersifat alamiah yang artinya mempunyai asal usul atau tidak dapat ditolak keberadaannya untuk mencapai makna secara alamiah. Sedangkan nomos menyatakan bahwa bahasa bersifat konfeksi yang artinya makna bahasa diperoleh melalui tradisi yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman. 
Pada masa sekarang bahasa bersifat konvensional atau nomos keberadaan bahasa dapat diperoleh dari tradisi atau budaya suatu masyarakat.  Hilangnya suatu budaya masyarakat maka akan berpengaruh terhadap perkembangan bahasa.  Sebagai contohnya pada masa lalu masyarakat sangat menyukai pertunjukan wayang sering mendengar istilah: geber, dalang, niyogo, tokoh wayang (seperti arjuna, bisma, nangkula, sadewo), debok dan sebagainya.  Tetapi istilah tersebut sudah tidak ada dalam pemikiran anak-anak jaman sekarang diganti dengan bahasa seperti: game, play, next, end, dan sebagainya yang tidak mempunyai landasan budaya yang berdasarkan kearifan lokal.  Coba anda cari budaya yang pada lalu masih menjadi kebiasaan masyarakat namun sekarang hilang.  Apakah hilangnya budaya di masyarakat akan mengurangi jumlah bahasa yang  mempunyai nilai kearifan lokal yang pada dasarnya akan mmbentuk karakter masyarakat. 
Sejak masa Pra Sokrates makna yang terkandung dalam tanda bahasa sangat tergantung dari asal-usul makna kata dan penggunaan tanda bahasa tersebut dalam suatu masyarakat.  Dengan demikian makna suatu kata sangat tergantung pada penggunaan bahasa tersebut.  Makna yang tersirat dalam suatu kata antara daerah satu dengan daerah lainnya dapat berbeda. Sebagai contohnya kata bajingan di kota Surakarta berarti penjahat tetapi kalau di kota Pacitan merupakan makanan yang terbuat dari ketela yang direbus menggunakan gula.  Kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit agreement’ yang artinya ‘persetujuan diam’ yang tidak tertulis yang merupakan tradisi dapat dilanggar, dapat berubah dalam perjalanan zaman. Dengan demikian perkembangan bahasa sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia yang mempergunakan bahasa.  Dengan demikian perubahan tradisi atau adat kebiasaan akan mempengaruhi perilaku dalam penggunaan bahasa.  Perubahan tradisi tersebut mengarah pada sisi negatif maupun positif. Seperti tradisi menonton televisi yang terjadi pada masyarakat Indonesia tahun 1975 bersama-sama di rumah pemuka masyarakat.  Kegiatan ini sering dilakukan oleh masyarakat pada malam hari.  Denga demikian mereka mempuyai rasa kebersamaan yang berakibat pada gotong royong masih kental.  Hl berbeda jauh dengan kondisi sekarang ini manusia modern telah mempunyai televisi di rumahnya masing-masing sehingga mereka menontonnya hanya sendiri.  Budaya ini mempunyai pengaruh pada karakter manusia modern sifat egoismenya semakin nampak sehingga karakter gotong royong dan kebersamaan akan semakin terpinggirkan bahkan tidak ada sama sekali.
Kemudian munculah kaum naturalis dengan tokoh-tokoh seperti Cratilus berdasarkan dialog dengan Plato mengatakan semua kata pada umumnya mendekati benda yang dapat dilihat, diraba, dan dirasa. Jika menunjuk pada suatu benda hitam, padat, berat maka dapat kita berikan tanda bahasa batu.  Dengan demikian pada masa pro sokrates benda yang sifatnya abstrak yang tidak tampak, tidak berwujud, tidak dapat diberikan tanda bahasa.  Namun demikian pada masa itu masih terjadi pertentangan antara mitos dan logos. Mitos mempercayai benda-benda yang sifatnya abstrak namun kalau logos benda yang dapat dilihat oleh mata yang dipercayai atau ada tanda bahasanya.
2. Kaum Sofis  Socrates
Seluruh minat Herakleitos terpusat pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia terdapat ada yang murni sebagai dunia yang ideal. Dengan demikian, pemikiran filsafat Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa (Cassirer, dalam Kaelan, 2002: 27).  Bahkan masa Herakleitos ini di sebut sebagai asal mula filsafat bahasa (Borgmann, dalam Kaelan, 2002:27). Setelah itu kaum Sofis muncul pada abad 5 S.M. Athena menjadi pusat baru seluruh kebudayaan Yunani. Golongan ini bernama Sofistik, penganutnya di namakan kaum sofis yang membedakan tipe kalimat atas 7 tipe yaitu: narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, do’a, dan undangan (Kaelan 2002:29).
Kaum sofis mengartikan hakikat bahasa dengan menghubungkan filsafat manusia. Karena manusia adalah sumber dari segala–galanya yang selalu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Mereka menemukan pendekatan baru untuk mencari hakikat bahasa terutama bahasa manusia. Sehingga kaum sofis Sokrates mengembangkan cabang pengetahuan baru yang dinamakan Retorika. Retorika berisi pendapat yang dikeluarkan kaum sofis ini menimbulkan masalah baru karena kata tidak digunakan untuk menjelaskan benda tetapi cenderung membuat orang mengambil tindakan tertentu.
Kaum sofis yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafat di Yunani yang semula terarah pada kosmos menjadi terarah pada teori pengetahuan dan etika yang akhirnya mencapai kesepakatan bahwa segala sesuatu bersifat nisbi oleh karena itu diragukan kebenarannya. Socrates juga menggunakan analitik bahasa dalam dialognya dengan kaum sofis untuk menyelesaikan kekacauan serta kesesatan pikir. Metode yang digunakannya disebut dialektis–kritis yang mungkin saat ini disebut dengan “interogasi”. Proses dialektis–kritis ini adalah mempertemukan dua pendirian atau lebih yang bertentangan atau merupakan pengembangan pemikiran dengan memakai pertemuan antar-ide. 
Dengan demikian, suatu pengertian atau pertanyaan belum bisa diterima salah  benarnya jika belum menggunakan proses dialektis-kritis. Metode ini sangat akurat, bahkan kaum sofis pun juga mengakui keakuratan metode yang bertujuan untuk memperbaiki masalah filosofis yang kacau karena kaum sofis. Bangsa Yunani sudah dikenal sejak lama sebagai bangsa yang gemar akan olah pikirnya.  Kemudian terjadi refleksi intlektual pada awal filsafat yunani, terutama Heraklietos yang oleh Aristoteles dalam metafiskanya di sebut ‘pra fisiologis kuno’ (hoi arkhaioi fiologoi).
C. Perkembangan Filsafat Bahasa pada Pertengahan
Pada abad pertengahan masih hampir sama dengan zaman Romawi. Kajian bahasa cenderung ke arah linguistik. Pada abad ini perkembangan filsafat bahasa dijelaskan melalui dua arah, yaitu gramatika dan analisis bahasa. Tokoh yang terkenal adalah Thomas Aquinas dengan Summa Thelogiae. Thomas yang pemikirannya diwarnai oleh nuansa teologi (seperti kebanyakan filsuf abad pertengahan) menurutnya untuk menemukan suatu kebenaran pada suatu masalah tertentu perlu memahami terlebih dahulu dengan baik apa yang telah disumbangkan pemikir besar lain. Lebih jauh Thomas mengajukan analisis bahasa untuk mencapai kebenaran, yaitu melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan melalui analisis premis.
Ciri yang utama pada jaman abad pertengahan adalah masa keemasannya filsuf Kristiani terutama kaum Patristik dan Skolastik sehingga wacana filosofis juga sangat akrab dengan teologi. Pada jaman ini perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu: pertama dengan ditentukannya gramatika sebagai pilar pendidikan latin serta bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pemikiran spekulatif filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa. Kedua, analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa, sebagaimana di lakukan oleh Tomas Aquinas.
Era Renaissance, kebijakan gereja banyak mempengaruhi pemikiran dunia luar dogma disebarluaskan sehingga pemikiran pada era ini masih teologisentris. Era ini berakhir dengan kemunculan Rene Descartes yang mengawali pemikiran pemikiran modern, termasuk filsafat modern.
  1. Varro dan De Lingua Latina
Pemikiran dalam bidang filsafat bahasa telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik. Walaupun masih meneruskan pemikiran-pemikiran para filusuf yunani. Karya besar filusuf Romawi tentang filsafat bahasa adalah Varro yang menjadi pusat perhatian banyak kalangan ahli bahasa. Varro memiliki karya terbesar adalah ‘De Lingua Latina’ terdiri atas 25 jilid. Dalam karyanya menjelaskan tentang Etimologi, pengertian kata, konsep morfologi,  kasus dan deklinasi.
Terdiri dari 25 jilid dibagi dalam bidang atimologi, morfologi, dan sintaksis. Buku ini memperdekatkan masalah analogi dan aromali. Dalam bidang morfologi Varro membagi 4 kelas kata latin yaitu kata benda termasuk kata sifat, kata kerja, partisipel / kata yang menghubungkan dalam sintaksis kata benda dan kata kerja, adverblum / kata yang mendukung (anggota bawahan dari kata kerja) yang tidak berinfleksi. Kategori kata kerja dibedakan atas tense, time, dan aspect, serta genetivus (kepunyaan), dativus (menerima), akusativus (objek), vokativus (sapaan) dan Ablativus (asal)
Akhir abad ke–18 terdapat dua aliran besar dalam dunia kefilsafatan yaitu aliran empirisme dan idealisme. Idealisme berkembang di Jerman sementara empirisme maju pesat di Inggris. Perubahan besar baru terjadi memasuki pertengahan abad 19 ketika idealisme mulai memasuki Inggris. Puncaknya pada awal abad ke 20 idealisme mendominasi Inggris mengalahkan empirisme yang banyak dianut oleh filsuf Inggris sebelumnya. Para idealis Inggris menyebut aliran mereka sebagai neo–idealisme atau neo-hegelianisme.

  1. Neo-Hegelianisme.
Nama aliran ini diambil dari nama seorang filsuf Jerman beraliran idealis yaitu Hegel. Ini dikarenakan pada masa ini para filsuf Inggris banyak dipengaruhi oleh ajaran Hegel. Padahal ajaran Hegel sendiri di Jerman sudah jarang digunakan. Aliran Neo-Hegelianisme mengedepankan pendekatan  metafisis agama untuk mengurai sebuah realita. Sehingga mereka sering menggunakan ungkapan yang bersifat universal untuk mengungkapkan sesuatu.
Pendominasian filsafat Neo-Hegelianisme ini terjadi ketika ajaran Hegel tidak populer lagi di negeri asalnya Jerman. Munculnya Neo-Hegelianisme sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme yang merajalela di Eropa pada waktu itu dan khususnya atas filsafat Inggris sebelum munculnya idealisme. Menurut Wiliam James, masuknya Neo-Hegelianisme di Inggris telah mempengaruhi perkembangan agama Kristen.
Tokoh-tokoh penganut Neo-Hegelianisme di Inggris, diantaranya adalah T.H. Green, Edward Chaird dan John Chaird, Francis Herberd Bradley, Bernard Bosanquet, dan J.E. Mctaggart. Gagasan-gagasan yang paling populer pada saat itudiantaranya gagasan Bosanquet yaitu kebenaran ialah keseluruhan; sedangkan Mctaggart dengan metode deduktifnya berpandangan tentang yang absolut sebagai a community of selves, yaitu persekutuan yang terdiri dari persona-persona.

  1. Common Language (Edward Moore).
Filsafat Neo-Hegelianisme ini tidak bertahan lama di Inggris, karena digantikan dengan aliran neo-realisme. Cara berpikir kefilsafatan neo-realisme ini bertolak belakang dengan filsafat Neo-Hegelianisme. Tokoh-tokoh aliran neo-realisme menaruh perhatian besar pada: Kajian linguistik, logika analisis dari istilah-istilah, konsep-konsep, dan preposisi. Selain hal tersebut di atas aliran neo-hegelianisme mengkaji metode analisis bahasa, sehingga istilah seperti empirisme logis, positivisme logis, neo-positivisme, linguistic analysis, semantic analysis, philosopy of language dan filsafat analitik mulai dipakai.
Sejak aliran neo-reaalisme dikenal istilah filsafat analitik yang selanjutnya sangat mempengaruhi corak filsafat abad ke-20. George Edward Moore, tokoh pertama yang memberikan kritikan pedas pada Neo-Hegelianisme.  Dia menganggap aliran ini tidak masuk akal karena bertentangan dengan akal sehat dan sulit diterima nalar.  Edward Moore menyatakan bahwa common language (bahasa sehari-hari) sudah cukup sebagai sumber akal sehat untuk menjelaskan realita. Selain itu juga G.E.Moore mengembangkan tradisi analitika bahasa sebagai reaksi terhadap aliran idealisme yang berkembang di Inggris dengan karyanya Principia Ethica (Moore, 1954)
  1. Gottlob Frege
Selain berkembang di Inggris, filsafat bahasa juga berkembang di Jerman. Kemudian untuk mempelajari filsafat bahasa modern ada seorang pakar filsafat dan matematika dari Jerman yang bernama Gottlob Frege. Dalam perjalananya menyelidiki sistem logika baru, dia menemukan pandangan-pandangan tentang bahasa yang berjaya pada abad ke-19 yang sebagian besar diwakili oleh J.S. Mill yang berpengaruh.
 Berdasarkan pendapat (Miller. A, 2007: 8) temuan tunggal Frege yang paling penting dalam filsafat bahasa adalah perbedaan tentang arti (sence) dan acuan atau referensi (reference). Dia menjelasakan perbedaan ini berdasarkan persoalan tentang pernyataan keidentikan (identitas).  Selain itu juga frege menemukan bahasa logika simbolik modern. Frege kemudian mengembangkan perbedaan ini ke arah ungkapan predikat dan ke seluruh kalimat. Frege menyatakan bahwa di samping mengungkapkan maknanya, ungkapan predikat juga mengacu pada konsep dan kalimat, mengungkapkan pikiran sebagai maknanya dan mempunyai referensi berupa nilai kebenaran.
Berdasarkan pendapat Frege dalam Miller. A, (2007:1-2) logika adalah studi tentang argumen untuk memberikan dasar dengan menggunakan metode yang ketat untuk menentukan apakah suatu argumen yang diberikan valid atau tidak valid. Untuk menerapkan metode logis, langkah  pertama  menerjemahkan argumen, seperti yang muncul dalam alam bahasa, ke dalam notasi logis formal. Pertimbangkan hal berikut (intuitif valid) dari argumen (pernyataan):
(1)    Jika Jones telah mengambil obat maka dia akan menjadi lebih
baik;
(2) Jones telah mengambil obat; Oleh karena itu,
(3) Ia akan menjadi lebih baik.

Hal ini dapat diterjemahkan ke dalam notasi logis Frege dengan membiarkan huruf "P" dan "Q" menyingkat seluruh kalimat atau proposisi yang berasal dari argumen terdiri’.  Pernyataan di atas dapat disingkat dengan mengganti kata” Jika.......kemudian............akan” hanya dilambangkan dengan panah ". . . →. . . ". Argumen yang tersebut di atas dapat diterjemahkan ke dalam simbolisme logis:

Kondisional "→" dikenal sebagai sentensial ikat, karena memungkinkan kita untuk membentuk kalimat kompleks (P → Q) dengan menghubungkan dua kalimat sederhana (P, Q). Connectives sentensial lainnya adalah: "dan", dilambangkan dengan "&"; "Atau", yang dilambangkan dengan "v"; "Itu tidak terjadi bahwa ", dilambangkan dengan" - "; "Jika dan hanya jika", yang dilambangkan dengan "↔". The huruf "P", "Q", dll dikenal sebagai konstanta sentensial, karena mereka adalah singkatan untuk seluruh kalimat. Misalnya, di contoh di atas, "P" adalah singkatan untuk kalimat mengekspresikan proposisi bahwa Jones telah mengambil obat, dan sebagainya.


  1. Atomisme Logis (Bertrand Russell). 
Bertrand Russell merupakan seorang penganut empirisme yang mengikuti jejak John Locke dan David Hume seperti terdapat dalam konsep filosofisnya tampak garis-garis filsafat empirisme. Selain hal tersebut di atas atomisme logis yang dipilih oleh Russel menunjukkan adanya pengaruh dari David Hume dalam An Enguary Concerning Human Understanding dimana struktur atomisme logis-nya Russell diilhami konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia (Kaelan, 1998).
Menurut Hume semua ide yang kompleks itu terdiri dari ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis, yang merupakan ide terkecil seorang filsuf hendaknya melakukan analisis psikologis terhadap ide. Ide dari Hume atomisme psikologis Hume ditolak oleh Russell dengan alasan  yang seharusnya dianalisis bukan pada aspek psikologis, melainkan dilakukan terhadap proposisi-proposisi (Kaelan, 1998: hal 87). Konsep atomisme logis Russell dipengaruhi oleh tiga tujuan filsafat Russell merupakan merefleksi terhadap landasan filsafatnya, yaitu bahasa logika dan corak logika, teori isomorfi, dan proposisi atomik.
Russell menginginkan penggunaan metode ilmiah bagi cara kerja filsafat. Selain itu, beliau juga mengungkapkan tugas dari filsafat pada dasarnya adalah analisis logis dan sintesis logis tentang fakta. Berdasarkan cara kerja yang telah diungkapkan Russell, sebenarnya beliau ingin menyusun teori atomisme logis dengan berpijak pada bahasa logika. Russell menentukan corak logis yang terkandung dalam suatu ungkapan atau proposisi agar tidak terjadi penyimpangan dalam bahasa filsafat sebagaimana terdapat dalam ungkapan yang dilontarkan para pendukung neo-hegelianisme. Konsep atomisme logis menekankan pada penggunaan bahasa logis untuk mengungkap sesuatu. Dengan berpijak pada bahasa logika Russell banyak mengungkap masalah dengan jalan menyepadankan (isomorf) masalah itu dengan hal yang sudah diketahui kebenarannya. Lewat atomisme logis ini Russell berhasil menjabarkan masalah yang membingungkan sejak zaman Socrates.
  1. Meaning Is Picture (Wittgenstein I).
Tractatus Logico Philosopichus merupakan suatu karya filsafat yang singkat dan padat serta disajikan dalam suatu deskripsi yang unik yaitu dengan menggunakan sistem notasi angka dengan menunjukan prioritas logis dari proposisi yang intinya adalah Picture Theori atau Meaning is picture (Witgenstein, 1961: 67).  Wittgenstein yang berasal dari Austria merupakan sahabat sekaligus murid dari Bertrand Russell. Dengan demikian Wittgenstein mengajukan konsep meaning is picture untuk menyempurnakan konsep atomisme logis Russell. Pemikirannya masih berdasarkan pada bahasa logis yang dapat diterima oleh akal pikiran manusia. Perbedaannya dengan Russel pada konsepnya dengan menyatakan bahwa makna adalah “gambar”. Gambar yang dimaksud di sini adalah penggunaan bahasa logika untuk menggambarkan suatu fenomena atau realita. Menurut Wittgenstein, bahasa logika memiliki proposisi elementer yang merupakan makna dasar dari sebuah proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi (Witgenstein, 1961: 31).
Dengan proposisi elementer ini Wittgenstein mencoba mengatasi kelemahan bahasa dalam mengungkapkan makna kefilsafatan. Hanya saja pada tahap ini Wittgenstein tidak bisa memasukkan bahasa metafisika, karena metafisika melampaui batas bahasa sehingga tidak dapat dikatakan. Teori Wittgenstein I meaning is picture ini maka menandai pula lahirnya filsafat bahasa karena objek kajian terhadap persoalan yang timbul dengan menguraikan bahasa menjadi proposisi elementer yang tidak dapat diuraikan lagi.  Dengan demikian proposisi elementer ini menjadi dasar dalam memberikan arti atau makna sebuah kata dalam suatu bahasa.
Berdasarkan uraian di atas menurut Witgenstein seluruh filsafat adalah suatu metode yang berupa Critique of Language (Bakker, 1984: 122).  Critique of Language digunakan untuk melakukan kritik terhadap pemikiran para filsuf yang berguna untuk mengetahui kejelasan suatu konsep yang tidak bermakna atau bermakna (Baker, 1984: 123).
  1. Positivisme Logis (Lingkaran Wina).
Aliran ini mendapat pengaruh dari konsep Wittgenstein 1 meaning is picture. Hanya saja uniknya, aliran ini menyandingkan bahasa logika Wittgenstein 1 dan Russell dengan aliran empiris yang menganalisis sesuatu lewat bahasa dengan bantuan pengalaman inderawi mereka tanpa alat bantu.  Dengan demikian positivisme logis ini hanya dapat mengungkapkan benda yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan alat indera manusia, belum bisa menjangkau planet atau satelit atau bakteri.  Terdapat lima asumsi yang menjadi dasar pijakan bagi positivisme logis yaitu realitas objektif, reduksionisme, asumsi bebas nilai, determinisme dan logiko empirisme. Masih sama dengan Wittgenstein, aliran ini tidak memasukkan metafisika ke dalam kajian mereka. A.J. Ayer tidak mengakui metafisika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat karena ungkapan atau proposisi mengenai metafisika dianggap tidak bermakna dan tidak bisa dibuktikan secara inderawi.
  1. Language Games atau Meaning is Use (Wittgenstein II).
Teori Meaning is Use (Wittgenstein II) merupakan  teori kedua walaupun teori pertamanya, yang dianut oleh banyak orang, Wittgenstein malah menganulir teorinya terdahulu. Meaning is Use  bahasa akan memiliki makna bukan dari cara bahasa tadi menggambarkan sesuatu tapi dari jenis bahasa itu sendiri. Wittgenstein secara radikal mengubah perhatiannya dari bahasa logika ke bahasa biasa. Wittgenstein dalam bukunya yang menguraikan tentang meaning is use mengemukakan bahwa bahasa memiliki aturan tersendiri yang disebut Language Games (Wittgenstein, 1983: 24).
Language Games merupakan tata permainan bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein hakikat bahasa adalah sangat tergantung penggunannya dalam macam konteks kehidupan manusia  yang selalu ada permainan bahasa yang sifatnya dinamis tidak terbatas sesuai dengan konteks kehidupan manusia dengan menggunakan tata aturan yang telah disepakati sebelumnya (Wittgenstein, 1983: 23).  Dengan demikian setiap kontek penggunaan yang berbeda juga mempunyai aturan yang berbeda.  Oleh karena itu manusia dituntut untuk mengikuti setiap aturan dalam penggunaannya di dalam masyarakat.
Kesalahan makna yang selama ini menjadi masalah itu disebabkan oleh pelanggaran aturan penggunaan bahasa itu sendiri. Menurut (Wittgenstein dalam Kaelan, 2009: 127) dengan penggunaan bahasa biasa, maka filsafat tidak lagi hanya sekadar berguna untuk menjelaskan sesuatu tapi juga menyederhanakan sesuatu, Jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaian bahasa”. Permainan bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein ini banyak menginspirasi adanya bentuk permainan yang menggunakan bahasa baik bahasa gerak, bahasa tulis, dan bahasa lisan dengan menggunakan aturan yang telah disepakati.  Dengan adanya bahasa permainan ini banyak muncul olahraga permaianan seperti bola voley, bola basket, sepak bola, bulutangkis, catur dan sebagainya.
  1. Austin J.L.
Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Ujaran ini disebutnya performatif sebagai lawan dari konstatif. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah sedangkan ujaran performatif tidak bisa benar atau salah, karena ujaran ini memiliki tugas khusus, yaitu dipakai untuk membentuk tindakan. Semula Austin membedakan antara ujaran yang mengatakan dan ujaran yang melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan ujaran yang tidak berupa tindakan dan ujaran yang berupa tindakan.
Namun dalam artikelnya How To Do The Thing With Words, ia mengubah teori aslinya itu. Apa yang semula dikemukakan sebagai ujaran performatif sekarang dimasukan ke dalam ujaran konstatif, sehingga terbentuk suatu kelas tindak tutur. Austin menyebut semua jenis tindak tutur ini dengan tindak ilusioner, dan mempertentangkan ini dengan tindak yang melibatkan pencapaian efek tertentu terhadap pendengar, yang disebutnya tindak perlokusioner.  P.F.Strawson menyoroti dan menambahkan beberapa informasi tentang daya ilokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak lokusioner. Menurut Strawson, Austin membuat perbedaan antara daya ilokusioner dari sebuah ujaran dengan apa yang disebut “makna”. Paparan yang mudah dicerna muncul dari Sumarmo (1989) mengungkapkan, positivisme logika yang berpendapat bahwa suatu ujaran hanya mempunyai makna kalau kita dapat menemukan nilai kebenarannya. Filsuf Wittgenstein (dalam Tractatus, 1921) menolak konsep yang dikemukakan oleh Austin  mengemukakan bahwa makna suatu ujaran terletak pada pemakaiannya namun demikian aliran Austin ini masih mendominasi pada saat itu.
  1. Aliran Oxford.
Setelah Perang Dunia II (1945) filsafat analitik berkembang pesat sampai di kalangan akademisi Oxford dan merambah sampai Amerika Selatan. Ciri umum dari filsafat analitik yang berpusat di Oxford, yaitu : 1) pertanyaan utama yang diajukan oleh mereka adalah tentang bagaimana cara kata-kata dipakai 2) orang menolak metode reduksionistis 3) filsafat analitis beranggapan bahwa hanya dengan melukiskan pemakaian bahasa secara mendetail banyak persoalan filsuf dapat dipecahkan.
Kalangan akademisi Oxford banyak dipengaruhi oleh pemikiran Wittgenstein periode II. Mereka sepakat dengan Wittgenstein bahwa kerja filsafat seharusnya berdasar pada bahasa biasa. Para akademisi ini kemudian membentuk aliran baru dalam filsafat analitik yang dikenal dengan sebutan Ordinary Language Philosophy. Beberapa tokoh penting diantaranya adalah G.Ryle dan J. Austin. G. Ryle memiliki pemikiran yang mirip dengan pemikiran Wittgenstein, bahwa bahasa biasa sudah memadai untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran filosofis. Meskipun begitu ia juga memperhitungkan unsur-unsur logika, sehingga sangat memperhatikan dan menganalisis penggunaan bahasa sehari-hari berdasarkan prinsip-prinsip logika.
Hal itulah yang membedakannya dengan penganut atomisme logis yang mendasarkan bahasa ideal dengan struktur logis yang menggambarkan struktur logis realitas dunia. Analisis Ryle yang sangat rinci terhadap pemakaian bahasa sehari-hari menggiringnya pada suatu temuan mengapa banyak terjadi kekacauan dan kekeliruan dalam filsafat. Kekeliruan pokok yang sering terjadi dalam kegiatan berfilsafat menurutnya karena adanya category mistake (Kekeliruan mengenai kategori). Kekeliruan ini menurut Bertens (Kaelan, 1998:157) terjadi dalam penggunaan bahasa untuk melukiskan fakta-fakta yang termasuk kategori satu dengan menggunakan ciri-ciri logis kategori lain. Category mistake inilah yang ia gunakan untuk mengkritik pemikiran Rene Descartes tentang manusia yang dualistik (Hidayat, 2006:82). Salah satu cara untuk menghindari kekeliruan kategori adalah dengan membedakan antara kata-kata yang menunjukan disposisi (sifat atau kebiasaan) dengan kata-kata yang menunjukan pada suatu pengertian peristiwa.
Selain itu Ryle juga membedakan adanya dua jenis kata kerja, yaitu kata kerja yang menunjukan atau mengacu pada suatu tugas dan kata kerja yang mengacu pada tujuan atau hasil yang akan dicapai. Kata kerja jenis pertama disebut dengan tasks verb, sedang yang kedua disebut dengan achievement verb. Filsuf Oxford lain yang sangat menaruh perhatian besar terhadap bahasa biasa dalam arti penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari adalah John Langshaw Austin. Ungkapan yangsering ia sampaikan untuk menunjukan betapa penting bahasa biasa dalam kehidupan sehari-hari  adalah What To Say When. Austin lalu menamakan konsepnya dengan istilah “linguistic phenomenology”.

  1. Noam Chomsky
Pada tahun 1960-an timbullah aliran baru dalam lnguistik Noam Chomsky mengutarakan teorinya, pertama syntactic structure, (1957) dan kedua Aspect of the Theory of Syntax, (1965). Noam Chomsky membuat spekulasi yang cukup berani menentang pemikiran ahli filsuf bahasa sebelumnya yang hanya berpusat pada struktur dan fisik bahasa. Chomsky pandangannya pada tindak tuturan berarti ada penutur dan mitra tutur.
Chomsky tidak puas dengan kegiatan para sarjana dalam kelompok linguistik modern yang hanya memperhatikan bahasa dari sudut strukturnya dan fisiknya saja. Chomsky menghendaki agar hubungan antara wujud bahasa dan pikiran itu dapat dinyatakan di dalam sebuah perangkat sistem formula yang dinyatakan secara eksplisit dan tegas. Formula yang ada di dalam komponenen-komponen itu ialah formula yang menjadi gambaran kemampuan penutur yang ideal. Dalam aliran pemikiran ini pengkajian dipusatkan kepada bagaimana bahasa itu dibangkitkan dari otak (generated), jadi bukan sekedar menganalisis data ucapan orang yang dapat direkam. Didalam aliran pemikiran ini juga ditekankan adanya hal-hal yang bersifat universal yamg dimiliki segala bahasa di dunia.
C.      Perkembangan Filsafat Bahasa Pada Zaman Modern 
1.       Rene Descartes
Setelah berlalunya zaman abad pertengahan, maka muncullah masa abad modern yang di awali dengan ‘Renaissance’. Secara harfiah kata ‘Renaissance’ berarti ‘kelahiran kembali’ kepada sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan (Hadiwijono, dalam Kaelan,2002:54).
           Berdasarkan  http://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes René Descartes dilahirkan di Perancis, 31 Maret 1596, meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun. Rene Descartes dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur berbahasa Latin, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641). Sedikitnya ada lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa: (a) pandangan mekanisnya mengenai alam semesta; (b) sikapnya yang positif terhadap penjajakan ilmiah; (c) tekanan yang, diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan; (d) pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptis; dan (e) penitikpusatan perhatian terhadap epistemologi.
Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes sehingga ia layak mendapatkan gelar ‘bapak filsafat modern’. Filsafat ini di lahirkan di perancis, dan Descartes menyusun satu buku tentang metode yang berjudul ‘Discours de la Methode’ (1639) yang artinya yaitu uraian tentang metode. Den metode ini di kembangkan dan dikenal dengan metode analitis.
2.       Thomas Hobbes
            Setelah masa bapak filsafat modern, muncul filsuf Inggris Thomas Hobbes yang pertama kali mengembangkan aliran empirisme. Walaupun Francis Bacon telah menerapkan prinsip-prinsip empiris. Namun Bacon tidak mengembangkan suatu ajaran yang lengkap melainkan dalam bentuk pengembangan pada aplikasi di bidang ilmu pengetahuan empiris. Thomas Hobbes (1588-1679) dilahirkan di Malmesbury, sebuah kota kecil yang berjarak 25 kilometer dari London.[1] Ia dilahirkan pada tanggal 15 April 1588 (Noel Malcolm. 2006: 13-44).
                Menurut pendapat F. Budi Hardiman, 2007: 65-73 Hobbes dikenal sebagai salah seorang perintis kemandirian filsafat. Hobbes berpendapat bahwa selama ini, filsafat banyak disusupi gagasan religius. Hobbes menegaskan bahwa obyek filsafat adalah obyek-obyek lahiriah yang bergerak beserta ciri-cirinya. Menurutnya, substansi yang tak dapat berubah, seperti Allah, dan substansi yang tak dapat diraba secara empiris, seperti roh, malaikat, dan sebagainya, bukanlah obyek dari filsafat. Hobbes menyatakan bahwa filsafat harus membatasi diri pada masalah kontrol atas alam. Berdasarkan pemikiran tersebut, Hobbes menyatakan hanya ada empat bidang di dalam filsafat, yakni:  Geometri, yang merupakan refleksi atas benda-benda dalam ruang; Fisika, yang merupakan refleksi timbal-balik benda-benda dan gerak mereka; Etika, yang dalam pengertian Hobbes dekat dengan psikologi; Maksudnya, refleksi atas hasrat dan perasaan manusia serta gerak-gerak mentalnya; Politik, yang adalah refleksi atas institusi-institusi sosial; Hobbes menyatakan bahwa keempat bidang tersebut saling berhubungan satu sama lain; Karena itulah, Hobbes berpandangan bahwa masyarakat dan manusia dapat dilihat melalui gerak dan materi dalam fisika.

3.       John Locke
Kemudian muncul John Locke yang merupakan sintesa rasionalis Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Salah satu pemikiran Locke yang paling berpengaruh di dalam sejarah filsafat adalah mengenai proses manusia mendapatkan pengetahuan (Franz Magnis-Suseno. 1992).  Menurut Roger Woolhouse, (1999) Locke menggabungkan beberapa pemikiran Deskartes, namun ia menentang ajaran-ajaran pokok Deskartes.
Menurut Locke dalam Franz Magnis-Suseno, (1992: 73-74)  seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Posisi ini adalah posisi empirisme yang menolak pendapat kaum rasionalis yang mengatakan sumber pengetahuan manusia yang terutama berasal dari rasio atau pikiran manusia. Meskipun demikian, rasio atau pikiran berperan juga di dalam proses manusia memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, Locke berpendapat bahwa sebelum seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio manusia itu belum berfungsi atau masih kosong.diibaratkan seperti sebuah kertas putih (tabula rasa) yang kemudian mendapatkan isinya dari pengalaman yang dijalani oleh manusia itu. Dengan demikian rasio manusia hanya berfungsi untuk mengolah pengalaman manusia menjadi pengetahuan sehingga sumber utama pengetahuan menurut Locke adalah pengalaman.

Locke menentang teori rasionalisme tentang ide-ide dan asas-asas pertama yang di pandang sebagai bawaan manusia dengan demikian segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal dan rasio  bersifat pasif pada waktu pengetahuan di dapatkan.  Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri namun diperolehnya dari luar akal melaui indrawi Hadi wijono, dalam (Kaelan, 2002:61).
Kemudian pemikiran  Locke di lanjutkan oleh filusuf kelahiran Irlandia yaitu George Berkeley. Namun perbedaannya terdapat pada kesimpulan dan dasar-dasar metafisika. Perkembangan filsafat bahasa masa modern ini sangat berpengaruh dari dua tokoh yaitu David Hume yang memiliki pemikiran empiris yang paling konsekuen dan radikal. Serta kemunculan pemikiran filsuf jerman Immanuel Kant menandai suatu era baru dalam bidang perkembangan filsafat. Kant berusaha untuk melakukan suatu sintesa baru terhadap suatu pemikiran filsafat yang pada saat itu berkembang yaitu paham Rasionalisme dan empirisme Hadiwijono dalam (Kaelan, 2002;69).
4.       Immanuel Kant
Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang tampak yang hanya menunjukkan fisiknya saja. Seperti Benda pada dirinya, bukan isinya atau idenya. seperti ada ungkapan "The Think in it self". Sama halnya dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia lain secara penampakannya saja atau fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia tersebut. Inderawi hanya bisa melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide abstrak- Plato)
Menurut Immanuel Kant dalam Abdur Rozak dan Isep Zainal Arifin, 2002:282 cenderung mendapatkan "ilham" atau terinmspirasi dari Plato, tapi tidak semuanya, dia "menyempurnakannya" dengan menggabungkan dengan Pengalaman Empirisme ajaran Aristoteles. Plato beranggapan Fenomena yang membentuk Nomena, Ide di atas segalanya, Ide yang membentuk sebuah yang nyata, seperti halnya Tuhan menciptakan Manusia. Immanuel Kant terinspirasi dari Plato terlihat dari teori 3 postulat "buatan". Sesuatu yang kita percaya, namun sulit dibuktikan: 1) Free Will, Kehendak yang bebas; 2) Keabadian Jiwa, Immortaolitas Jiwa (warisan Plato. Manusia mati, tetapi Jiwa tak pernah Mati, makanya ide bersifat abstrak dan di atas segalanya); 3) Tuhan, merupakan sesuatu yang kita percaya dan yakini akan keadaanya, akan tetapi sulit untuk mebuktikan kenampakan fisiknya.
5.       August Comte
Pada abad ke-19 timbulah aliran filsafat ‘Positivisme’yang menandai semakin berkembangnya ilmu pengetahuan Modern. Menurut aliran tersebut bahwa pengetahuan berpangkal dari apa yang telah di ketahui, yang factual atau yang ‘positif’ sehingga pemikiran August Comte yang terkenal  adalah tiga tahap perkembangan pemikiran manusia,  baik manusia perorangan maupun manusia secara keseluruhan. Menurut Sutton, Michael (1982) tahap Comte adalah (1) tahap teologis, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif. 
(1) Tahap Theological di mana tempat manusia dalam masyarakat dan pembatasan masyarakat atas manusia yang direferensikan kepada Allah, manusia  percaya pada apa pun yang diajarkan oleh nenek moyangnya dan percaya pada kekuatan supranatural. (2) Berdasarkan "Metafisika" panggung, Comte tahap metafisik ini melibatkan justifikasi hak universal berada lebih tinggi dari otoritas setiap penguasa manusia untuk membatalkan perintah, meskipun mengatakan hak itu tidak direferensikan ke suci lebih dari sekadar metafora. Tahap ini dikenal sebagai tahap penyelidikan, karena orang-orang mulai penalaran dan pertanyaan meskipun tidak ada bukti yang kuat dibaringkan. Tahap penyidikan adalah awal dari dunia yang mempertanyakan otoritas dan agama. (3) Dalam tahap Ilmiah, yang muncul setelah kegagalan revolusi dan Napoleon, orang dapat menemukan solusi untuk masalah sosial dan membawa mereka berlaku meski pernyataan hak asasi manusia atau nubuatan kehendak Allah. Ilmu mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan di peregangan penuh. Dalam hal ini ia mirip dengan Karl Marx dan Jeremy Bentham.
Dengan demikian filsafat bahasa dapat dikaji menggunakan logika atau penalaran yang berupa proposisi atau pernyataan yang sifatnya umum atau khusus untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.  Selain itu juga filsafat bahasa makna kata dapat dikaji dengan menggunakan permainan bahasa dan tindak tutur yang disesuaikan dengan konteks penggunaannya.  Dengan demikian makna kata dalam suatu kalimat, makna bahasa dalam suatu wacana sangat tergantung dengan konteknya. Kata yang sama dalam sebuah kalimat, bahasa yang sama dalam sebuah tuturan sangat tergantung artinya pada situasi dan kondisi pada saat kegiatan tersebut dilakukan.  Sebagai contohnya kata “bajingan” kalau kata tersebut dituturkan dalam keadaan tak resmi tidak etis, atau dalam bahasa tulis dipajang di kantor pemerintah pasti akan menimbulkan permasalahan baru.



 



























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Indonesia Dipelajari oleh Banyak Negara

TAWARAN BEASISWA DARI UNIVERSITI MALAYSIA SABAH (UMS) MALAYSIA 2015