MODUL 2 KEGIATAN PEMBELAJARAN KEDUA SEJARAH FILSAFAT BAHASA PERTEMUAN KE 4 DAN 5 TANGGAL 8 DAN 15 APRIL 2015
MODUL 2
KEGIATAN
PEMBELAJARAN KEDUA
SEJARAH
FILSAFAT BAHASA
PERTEMUAN
KE 4 DAN 5
TANGGAL 8
DAN 15 APRIL 2015
MATA KULIAH
FILSAFAT BAHASA
DOSEN
PENGAMPU: AGOES HENDRIYANTO, M.Pd
A.
Pendahuluan
Bahan Ajar Filsafat bahasa modul kedua kegiatan
pembelajaran kedua ini berisi gambaraan tentang: Peranan Filsafat bahasa dalam
kehidupan manusia, perkembangan filsafat bahasa pada jaman Yunani, perkembangan filsafat bahasa pada jaman
pertengahan, dan perkembangan filsafat
bahasa pada jaman Modern. Sub bab peranan filsafat bahasa bagi kehidupan
manusia dimulai dari adanya bukti tertulis yang berhasil dikumpulkan dan
dipelihara sampai sekarang. Bukti
tersebut menandakan bahwa pada masa tersebut telah terjadi komunikasi yang
mempergunakan tanda, simbol atau lambang yang tersistem yang digunakan untuk
alat komunikasi manusia saat itu. Selain itu juga berisi perkembangan filsafat
bahasa pada jaman pertengahan disertai dengan tokoh-tokohnya. Begitu juga pada perkembangan filsafat bahasa
pada jaman pertegahan dan modern senantiasa berisi sudut pandang para tokoh
pada jaman pertengahan dan modern.
Setelah mempelajari bahan ajar Modul kedua Sejarah Filsafat diharapkan
mahasiswa akan dapat:
1.
Mahasiswa mampu untuk menguasai konsep dan teori para filsuf pada
jaman Yunani, pertengahan dan modern;
2.
Mahasiswa dapat mengelompokkan filsafat bahasa berdasarkan dua
landasan berpikir logika dan bahasa;
3.
Mahasiswa dapat menemukan teori dan konsep pada masa lalu yang dapat
diterapkan dan digunakan sebagai solusi pemecahan masalah pada masa kini;
4.
Mahasiswa dapat meneladani karakter filsuf dari jaman Yunani sampai
jaman Modern terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
5.
Mahasiswa dapat mengetahui betapa pentingnya peranan filsafat bahasa
bagi kehidupan manusia yang selalu menggunakan objek bahasa.
A.
Perkembangan
Filsafat Bahasa dalam Kehidupan Manusia
Filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf
tentang hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat itu sendiri telah
berlangsung sejak Jaman Yunani. Dimana perkembangan problem-problem filsafat
pada jaman tertentu dipengaruhi oleh pasang surut perhatian filsuf. Suatu perubahan yang sangat penting terjadi
ketika para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat
dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Dengan demikian persoalan yang timbul
pada saat itu dapat diselesaikan dengan analisis bahasa. Hal itu dapat dilakukan karena permaslahan
yang ada belum terlalu komplek, dan daya pikir manusia masih sangat dipengaruhi
oleh kaum bangsawan, gereja, atau pemuka agama.
Dengan demikian setiap persoalan yang timbul pada masa itu dapat
disimpulkan dengan menggunakan analisis bahasa yang biasanya terpusat di gereja
atau kerajaan. Hal ini tidak dapat kita
lakukan pada masa modern ini banyaknya ahli menyebabkan multitafsir terhadap
norma hukum, norma agama dan norma adat yang menggunakan bahasa sebagai objek
kajiannya.
Sebagai satu contoh problem filsafat yang terjadi
pada masa Yunani yang menyangkut pertanyaan: keadilan, kebaikan, kebenaran,
hakikat ada, dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya yang dapat
dijawab dengan metode analisis bahasa.
Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat yang sudah berkembang sejak dahulu
yaitu sebelum jaman Yunani. Dimana para filsuf mulai sadar akan peran analisis
bahasa sebagai alat untuk menjelaskan masalah-masalah filsafat. Bahasa merupakan sarana yang vital dalam
filsafat (Davis,1976; dalam Kaelan, 2002;5).
Dengan demikian para penguasa, filsuf, tokoh agama, tokoh negara, tokoh
masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak
selalu mempergunakan analisis bahasa.
Penggunaan analisis bahasa mulai diperhitungkan
sejak semakin kompleknya persoalan manusia dimulai dari jaman Yunni yng telh
mengenal bahasa tulis dan lisan. Walaupun pada masa itu manusia masih sangat
mempercayai adanya sesuatu yang gaib yang sifatnya abstrak tidak berwujud. Manusia pada jaman kuno yang mempercayai
adanya kekuatan yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala atau sifatnya abstrak
yang tidak mampu untuk memecahkan setiap persoalan hidup yang dihadapi oleh
manusia jaman kuno. Mereka mempercayai
adanya dewa tetapi pada saat diperlukan tidak bisa menjawab setiap persoalan
yang dihadapi manusia saat itu. Dengan semakin kompleknya persoalan yang
dihadapi manusia menyebabkan peran dari mitos tidak mampu lagi untuk
menjawabnya. Sebab mitos-mitos pada
jaman dahulu tidak mampu meyakinkan manusia sehingga terjadilah krisis dalam
kehidupan intlektual maupun hidup moralnya. Mulai saat itu manusia mulai
mempergunakan bahasa sebagai sarana untuk menjawab persoalan hidupnya.
Manusia mulai merenungkan dirinya dan mulai sadar
akan peran bahasa dan hubungannya dengan realita dari sudut yang berbeda. Pada
era itu analitik filsuf mulai berkiprah untuk mengeritik, menjelaskan, dan
mengungkapkan konsep-konsep filosofinya melalui analisis bahasa. Bersama dengan
berjalannya waktu merebak pula reaksi tokoh-tokoh Postmodernisme yang mengakar
ke berbagai bidang kehidupan manusia yang sekali lagi juga menggunakan media
bahasa sebagai pijakannya terutama konsep dekonstruksinya.
B.
Perkembangan
Filsafat Bahasa pada Zaman Yunani
Menurut Simon Petrus L. Tjahjadi, (2004) filsafat
Yunani dimulai sekitar abad ke-6 SM,
jaman ini sering disebut juga sebagai zaman peralihan dari mitos ke logos. Sebelum masa ini,
banyak orang yang bercerita tentang alam semesta dan kejadian di dalamnya
terjadi berkat kuasa gaib, seperti adanya kuasa para dewa-dewi buktinya adanya
mitos kerap sekali ditemukan di dalam sastra-sastra Yunani. Menurut Cassirer
(1987:170) pemikiran filsafat Yunani bergeser dari filsafat alam kepada
filsafat bahasa.
Pada zaman Yunani tersebut banyak tokoh yang
muncul sesuai perkembangan filsafat seperti Sokrates, Plato, Aristoteles.
Itulah tokoh filosof yang sangat berpengaruh dalam perkembangan filsafat.
Selain itu ada juga yang di kenal dengan mazhab stoa. Nama stoa menunjukkan
tempat belajar atau tempat menuntut ilmu. Kelompok ini dikenal dengan filsuf
yang ahli logika cukup berperan dalam perkembangan filsafat, contohnya saja
kaum stoa telah membedakan antara
studi bahasa secara logika dan studi bahasa secara gramatiks.
1.
Masa Pra Sokrates,
Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya
menjadi semakin kental, dan saat itu muncul persoalan filosofis yaitu apakah
bahasa itu dikuasai oleh alam, nature
atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos. Pada masa Pra-Socrates muncul pendapat yang memperdebatkan
bahasa itu bersifat konvensional (nomos)
atau alamiah (fisei). Fisei menyatakan bahwa bahasa bersifat
alamiah yang artinya mempunyai asal usul atau tidak dapat ditolak keberadaannya
untuk mencapai makna secara alamiah. Sedangkan nomos menyatakan bahwa bahasa bersifat konfeksi yang artinya makna
bahasa diperoleh melalui tradisi yang dapat berubah sesuai perkembangan
zaman.
Pada masa sekarang bahasa bersifat konvensional
atau nomos keberadaan bahasa dapat diperoleh dari tradisi atau budaya suatu
masyarakat. Hilangnya suatu budaya
masyarakat maka akan berpengaruh terhadap perkembangan bahasa. Sebagai contohnya pada masa lalu masyarakat
sangat menyukai pertunjukan wayang sering mendengar istilah: geber, dalang,
niyogo, tokoh wayang (seperti arjuna, bisma, nangkula, sadewo), debok dan
sebagainya. Tetapi istilah tersebut
sudah tidak ada dalam pemikiran anak-anak jaman sekarang diganti dengan bahasa
seperti: game, play, next, end, dan sebagainya yang tidak mempunyai landasan
budaya yang berdasarkan kearifan lokal.
Coba anda cari budaya yang pada lalu masih menjadi kebiasaan masyarakat
namun sekarang hilang. Apakah hilangnya
budaya di masyarakat akan mengurangi jumlah bahasa yang mempunyai nilai kearifan lokal yang pada
dasarnya akan mmbentuk karakter masyarakat.
Sejak masa Pra Sokrates makna yang terkandung
dalam tanda bahasa sangat tergantung dari asal-usul makna kata dan penggunaan
tanda bahasa tersebut dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian makna suatu kata sangat tergantung pada penggunaan
bahasa tersebut. Makna yang tersirat
dalam suatu kata antara daerah satu dengan daerah lainnya dapat berbeda.
Sebagai contohnya kata bajingan di kota Surakarta berarti penjahat tetapi kalau
di kota Pacitan merupakan makanan yang terbuat dari ketela yang direbus
menggunakan gula. Kaum konvensionalis
berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi,
kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit
agreement’ yang artinya ‘persetujuan diam’ yang tidak tertulis yang
merupakan tradisi dapat dilanggar, dapat berubah dalam perjalanan zaman. Dengan
demikian perkembangan bahasa sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia yang
mempergunakan bahasa. Dengan demikian
perubahan tradisi atau adat kebiasaan akan mempengaruhi perilaku dalam
penggunaan bahasa. Perubahan tradisi
tersebut mengarah pada sisi negatif maupun positif. Seperti tradisi menonton
televisi yang terjadi pada masyarakat Indonesia tahun 1975 bersama-sama di
rumah pemuka masyarakat. Kegiatan ini
sering dilakukan oleh masyarakat pada malam hari. Denga demikian mereka mempuyai rasa
kebersamaan yang berakibat pada gotong royong masih kental. Hl berbeda jauh dengan kondisi sekarang ini manusia
modern telah mempunyai televisi di rumahnya masing-masing sehingga mereka
menontonnya hanya sendiri. Budaya ini
mempunyai pengaruh pada karakter manusia modern sifat egoismenya semakin nampak
sehingga karakter gotong royong dan kebersamaan akan semakin terpinggirkan
bahkan tidak ada sama sekali.
Kemudian munculah kaum naturalis dengan
tokoh-tokoh seperti Cratilus berdasarkan dialog dengan Plato mengatakan semua
kata pada umumnya mendekati benda yang dapat dilihat, diraba, dan dirasa. Jika
menunjuk pada suatu benda hitam, padat, berat maka dapat kita berikan tanda
bahasa batu. Dengan demikian pada masa
pro sokrates benda yang sifatnya abstrak yang tidak tampak, tidak berwujud,
tidak dapat diberikan tanda bahasa.
Namun demikian pada masa itu masih terjadi pertentangan antara mitos dan
logos. Mitos mempercayai benda-benda yang sifatnya abstrak namun kalau logos
benda yang dapat dilihat oleh mata yang dipercayai atau ada tanda bahasanya.
2.
Kaum Sofis Socrates
Seluruh minat Herakleitos terpusat pada dunia
fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia terdapat ada yang murni sebagai
dunia yang ideal. Dengan demikian, pemikiran filsafat Yunani awal bergeser dari
filsafat alam kepada filsafat bahasa (Cassirer, dalam Kaelan, 2002: 27). Bahkan masa Herakleitos ini di sebut sebagai
asal mula filsafat bahasa (Borgmann, dalam Kaelan, 2002:27). Setelah itu kaum
Sofis muncul pada abad 5 S.M. Athena menjadi pusat baru seluruh kebudayaan
Yunani. Golongan ini bernama Sofistik, penganutnya di namakan kaum sofis yang
membedakan tipe kalimat atas 7 tipe yaitu: narasi, pertanyaan, jawaban,
perintah, laporan, do’a, dan undangan (Kaelan 2002:29).
Kaum sofis mengartikan hakikat bahasa dengan
menghubungkan filsafat manusia. Karena manusia adalah sumber dari
segala–galanya yang selalu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Mereka
menemukan pendekatan baru untuk mencari hakikat bahasa terutama bahasa manusia.
Sehingga kaum sofis Sokrates mengembangkan cabang pengetahuan baru yang
dinamakan Retorika. Retorika berisi pendapat yang dikeluarkan kaum sofis ini
menimbulkan masalah baru karena kata tidak digunakan untuk menjelaskan benda
tetapi cenderung membuat orang mengambil tindakan tertentu.
Kaum sofis yang membawa perubahan terhadap corak
pemikiran filsafat di Yunani yang semula terarah pada kosmos menjadi terarah
pada teori pengetahuan dan etika yang akhirnya mencapai kesepakatan bahwa
segala sesuatu bersifat nisbi oleh karena itu diragukan kebenarannya. Socrates
juga menggunakan analitik bahasa dalam dialognya dengan kaum sofis untuk
menyelesaikan kekacauan serta kesesatan pikir. Metode yang digunakannya disebut
dialektis–kritis yang mungkin saat ini disebut dengan “interogasi”. Proses
dialektis–kritis ini adalah mempertemukan dua pendirian atau lebih yang
bertentangan atau merupakan pengembangan pemikiran dengan memakai pertemuan
antar-ide.
Dengan demikian, suatu pengertian atau pertanyaan
belum bisa diterima salah benarnya jika
belum menggunakan proses dialektis-kritis. Metode ini sangat akurat, bahkan
kaum sofis pun juga mengakui keakuratan metode yang bertujuan untuk memperbaiki
masalah filosofis yang kacau karena kaum sofis. Bangsa Yunani sudah dikenal
sejak lama sebagai bangsa yang gemar akan olah pikirnya. Kemudian terjadi refleksi intlektual pada
awal filsafat yunani, terutama Heraklietos yang oleh Aristoteles dalam
metafiskanya di sebut ‘pra fisiologis kuno’ (hoi
arkhaioi fiologoi).
C. Perkembangan Filsafat Bahasa pada Pertengahan
Pada abad pertengahan masih hampir sama dengan
zaman Romawi. Kajian bahasa cenderung ke arah linguistik. Pada abad ini
perkembangan filsafat bahasa dijelaskan melalui dua arah, yaitu gramatika dan
analisis bahasa. Tokoh yang terkenal adalah Thomas Aquinas dengan Summa Thelogiae. Thomas yang
pemikirannya diwarnai oleh nuansa teologi (seperti kebanyakan filsuf abad
pertengahan) menurutnya untuk menemukan suatu kebenaran pada suatu masalah
tertentu perlu memahami terlebih dahulu dengan baik apa yang telah disumbangkan
pemikir besar lain. Lebih jauh Thomas mengajukan analisis bahasa untuk mencapai
kebenaran, yaitu melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi
yang dilakukan melalui analisis premis.
Ciri yang utama pada jaman abad pertengahan
adalah masa keemasannya filsuf Kristiani terutama kaum Patristik dan Skolastik
sehingga wacana filosofis juga sangat akrab dengan teologi. Pada jaman ini
perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu: pertama dengan ditentukannya gramatika sebagai pilar pendidikan
latin serta bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka
pemikiran spekulatif filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa. Kedua, analisis filosofis diungkapkan
melalui analisis bahasa, sebagaimana di lakukan oleh Tomas Aquinas.
Era Renaissance, kebijakan gereja banyak
mempengaruhi pemikiran dunia luar dogma disebarluaskan sehingga pemikiran pada
era ini masih teologisentris. Era ini
berakhir dengan kemunculan Rene Descartes yang mengawali pemikiran pemikiran
modern, termasuk filsafat modern.
- Varro
dan De Lingua Latina
Pemikiran dalam bidang filsafat bahasa telah
mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik. Walaupun masih meneruskan
pemikiran-pemikiran para filusuf yunani. Karya besar filusuf Romawi tentang
filsafat bahasa adalah Varro yang menjadi pusat perhatian banyak kalangan ahli
bahasa. Varro memiliki karya terbesar adalah ‘De Lingua Latina’ terdiri atas 25 jilid. Dalam karyanya menjelaskan
tentang Etimologi, pengertian kata, konsep morfologi, kasus dan deklinasi.
Terdiri dari 25 jilid dibagi dalam bidang
atimologi, morfologi, dan sintaksis. Buku ini memperdekatkan masalah analogi
dan aromali. Dalam bidang morfologi Varro membagi 4 kelas kata latin yaitu kata
benda termasuk kata sifat, kata kerja, partisipel
/ kata yang menghubungkan dalam sintaksis kata benda dan kata kerja, adverblum / kata yang mendukung (anggota
bawahan dari kata kerja) yang tidak berinfleksi. Kategori kata kerja dibedakan
atas tense, time, dan aspect, serta genetivus (kepunyaan), dativus
(menerima), akusativus (objek), vokativus (sapaan) dan Ablativus (asal)
Akhir abad ke–18 terdapat dua aliran besar dalam
dunia kefilsafatan yaitu aliran empirisme dan idealisme. Idealisme berkembang
di Jerman sementara empirisme maju pesat di Inggris. Perubahan besar baru
terjadi memasuki pertengahan abad 19 ketika idealisme mulai memasuki Inggris.
Puncaknya pada awal abad ke 20 idealisme mendominasi Inggris mengalahkan
empirisme yang banyak dianut oleh filsuf Inggris sebelumnya. Para idealis
Inggris menyebut aliran mereka sebagai neo–idealisme atau neo-hegelianisme.
- Neo-Hegelianisme.
Nama aliran ini diambil dari nama seorang filsuf
Jerman beraliran idealis yaitu Hegel. Ini dikarenakan pada masa ini para filsuf
Inggris banyak dipengaruhi oleh ajaran Hegel. Padahal ajaran Hegel sendiri di
Jerman sudah jarang digunakan. Aliran Neo-Hegelianisme
mengedepankan pendekatan metafisis agama
untuk mengurai sebuah realita. Sehingga mereka sering menggunakan ungkapan yang
bersifat universal untuk mengungkapkan sesuatu.
Pendominasian filsafat Neo-Hegelianisme ini terjadi ketika ajaran Hegel tidak populer lagi
di negeri asalnya Jerman. Munculnya Neo-Hegelianisme
sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme yang merajalela di Eropa
pada waktu itu dan khususnya atas filsafat Inggris sebelum munculnya idealisme.
Menurut Wiliam James, masuknya Neo-Hegelianisme di Inggris telah mempengaruhi
perkembangan agama Kristen.
Tokoh-tokoh penganut Neo-Hegelianisme di Inggris,
diantaranya adalah T.H. Green, Edward Chaird dan John Chaird, Francis Herberd
Bradley, Bernard Bosanquet, dan J.E. Mctaggart. Gagasan-gagasan yang paling
populer pada saat itudiantaranya gagasan Bosanquet yaitu kebenaran ialah
keseluruhan; sedangkan Mctaggart dengan metode deduktifnya berpandangan tentang
yang absolut sebagai a community of
selves, yaitu persekutuan yang terdiri dari persona-persona.
- Common Language (Edward Moore).
Filsafat Neo-Hegelianisme
ini tidak bertahan lama di Inggris, karena digantikan dengan aliran neo-realisme. Cara berpikir kefilsafatan
neo-realisme ini bertolak belakang dengan filsafat Neo-Hegelianisme. Tokoh-tokoh aliran neo-realisme menaruh perhatian besar pada: Kajian linguistik,
logika analisis dari istilah-istilah, konsep-konsep, dan preposisi. Selain hal
tersebut di atas aliran neo-hegelianisme mengkaji metode analisis bahasa,
sehingga istilah seperti empirisme logis,
positivisme logis, neo-positivisme, linguistic analysis, semantic analysis,
philosopy of language dan filsafat analitik mulai dipakai.
Sejak aliran neo-reaalisme dikenal istilah
filsafat analitik yang selanjutnya sangat mempengaruhi corak filsafat abad
ke-20. George Edward Moore, tokoh pertama yang memberikan kritikan pedas pada
Neo-Hegelianisme. Dia menganggap aliran
ini tidak masuk akal karena bertentangan dengan akal sehat dan sulit diterima
nalar. Edward Moore menyatakan bahwa common language (bahasa sehari-hari)
sudah cukup sebagai sumber akal sehat untuk menjelaskan realita. Selain itu
juga G.E.Moore mengembangkan tradisi analitika bahasa sebagai reaksi terhadap
aliran idealisme yang berkembang di Inggris dengan karyanya Principia Ethica (Moore, 1954)
- Gottlob
Frege
Selain berkembang di Inggris, filsafat bahasa
juga berkembang di Jerman. Kemudian untuk mempelajari filsafat bahasa modern
ada seorang pakar filsafat dan matematika dari Jerman yang bernama Gottlob
Frege. Dalam perjalananya menyelidiki sistem logika baru, dia menemukan
pandangan-pandangan tentang bahasa yang berjaya pada abad ke-19 yang sebagian
besar diwakili oleh J.S. Mill yang berpengaruh.
Berdasarkan pendapat (Miller. A, 2007: 8)
temuan tunggal Frege yang paling penting dalam filsafat bahasa adalah perbedaan
tentang arti (sence) dan acuan atau
referensi (reference). Dia
menjelasakan perbedaan ini berdasarkan persoalan tentang pernyataan keidentikan
(identitas). Selain itu juga frege
menemukan bahasa logika simbolik modern. Frege kemudian mengembangkan perbedaan
ini ke arah ungkapan predikat dan ke seluruh kalimat. Frege menyatakan bahwa di
samping mengungkapkan maknanya, ungkapan predikat juga mengacu pada konsep dan
kalimat, mengungkapkan pikiran sebagai maknanya dan mempunyai referensi berupa
nilai kebenaran.
Berdasarkan
pendapat Frege dalam Miller. A, (2007:1-2) logika adalah studi tentang argumen
untuk memberikan dasar dengan menggunakan metode yang ketat untuk menentukan
apakah suatu argumen yang diberikan valid atau tidak valid. Untuk menerapkan metode
logis, langkah pertama menerjemahkan argumen, seperti yang muncul
dalam alam bahasa, ke dalam notasi logis formal. Pertimbangkan hal berikut
(intuitif valid) dari argumen (pernyataan):
(1)
Jika Jones telah mengambil obat maka dia akan menjadi lebih
baik;
(2) Jones
telah mengambil obat; Oleh karena itu,
(3) Ia akan
menjadi lebih baik.
Hal ini
dapat diterjemahkan ke dalam notasi logis Frege dengan membiarkan huruf
"P" dan "Q" menyingkat seluruh kalimat atau proposisi yang
berasal dari argumen terdiri’.
Pernyataan di atas dapat disingkat dengan mengganti kata”
Jika.......kemudian............akan” hanya dilambangkan dengan panah ". .
. →. . . ". Argumen yang tersebut di atas dapat diterjemahkan ke dalam
simbolisme logis:
Kondisional
"→" dikenal sebagai sentensial ikat, karena memungkinkan kita untuk
membentuk kalimat kompleks (P → Q) dengan menghubungkan dua kalimat sederhana
(P, Q). Connectives sentensial
lainnya adalah: "dan", dilambangkan dengan "&";
"Atau", yang dilambangkan dengan "v"; "Itu tidak
terjadi bahwa ", dilambangkan dengan" - "; "Jika dan hanya
jika", yang dilambangkan dengan "↔". The huruf "P",
"Q", dll dikenal sebagai konstanta sentensial, karena mereka adalah
singkatan untuk seluruh kalimat. Misalnya, di contoh di atas, "P"
adalah singkatan untuk kalimat mengekspresikan proposisi bahwa Jones telah
mengambil obat, dan sebagainya.
- Atomisme
Logis (Bertrand Russell).
Bertrand Russell merupakan seorang penganut
empirisme yang mengikuti jejak John Locke dan David Hume seperti terdapat dalam
konsep filosofisnya tampak garis-garis filsafat empirisme. Selain hal tersebut
di atas atomisme logis yang dipilih oleh Russel menunjukkan adanya pengaruh
dari David Hume dalam An Enguary
Concerning Human Understanding dimana struktur atomisme logis-nya Russell
diilhami konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia (Kaelan,
1998).
Menurut Hume semua ide yang kompleks itu terdiri
dari ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis, yang merupakan ide terkecil
seorang filsuf hendaknya melakukan analisis psikologis terhadap ide. Ide dari
Hume atomisme psikologis Hume ditolak oleh Russell dengan alasan yang seharusnya dianalisis bukan pada aspek
psikologis, melainkan dilakukan terhadap proposisi-proposisi (Kaelan, 1998: hal
87). Konsep atomisme logis Russell dipengaruhi oleh tiga tujuan filsafat
Russell merupakan merefleksi terhadap landasan filsafatnya, yaitu bahasa logika
dan corak logika, teori isomorfi, dan proposisi atomik.
Russell menginginkan penggunaan metode ilmiah
bagi cara kerja filsafat. Selain itu, beliau juga mengungkapkan tugas dari
filsafat pada dasarnya adalah analisis logis dan sintesis logis tentang fakta.
Berdasarkan cara kerja yang telah diungkapkan Russell, sebenarnya beliau ingin
menyusun teori atomisme logis dengan berpijak pada bahasa logika. Russell
menentukan corak logis yang terkandung dalam suatu ungkapan atau proposisi agar
tidak terjadi penyimpangan dalam bahasa filsafat sebagaimana terdapat dalam
ungkapan yang dilontarkan para pendukung neo-hegelianisme. Konsep atomisme
logis menekankan pada penggunaan bahasa logis untuk mengungkap sesuatu. Dengan
berpijak pada bahasa logika Russell banyak mengungkap masalah dengan jalan
menyepadankan (isomorf) masalah itu
dengan hal yang sudah diketahui kebenarannya. Lewat atomisme logis ini Russell
berhasil menjabarkan masalah yang membingungkan sejak zaman Socrates.
- Meaning
Is Picture (Wittgenstein I).
Tractatus
Logico Philosopichus merupakan suatu karya filsafat yang singkat dan padat serta disajikan
dalam suatu deskripsi yang unik yaitu dengan menggunakan sistem notasi angka
dengan menunjukan prioritas logis dari proposisi yang intinya adalah Picture Theori atau Meaning is picture (Witgenstein, 1961: 67). Wittgenstein yang berasal dari Austria
merupakan sahabat sekaligus murid dari Bertrand Russell. Dengan demikian
Wittgenstein mengajukan konsep meaning is
picture untuk menyempurnakan konsep atomisme
logis Russell. Pemikirannya masih berdasarkan pada bahasa logis yang dapat
diterima oleh akal pikiran manusia. Perbedaannya dengan Russel pada konsepnya
dengan menyatakan bahwa makna adalah “gambar”. Gambar yang dimaksud di sini
adalah penggunaan bahasa logika untuk menggambarkan suatu fenomena atau
realita. Menurut Wittgenstein, bahasa logika memiliki proposisi elementer yang
merupakan makna dasar dari sebuah proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi
(Witgenstein, 1961: 31).
Dengan proposisi elementer ini Wittgenstein
mencoba mengatasi kelemahan bahasa dalam mengungkapkan makna kefilsafatan.
Hanya saja pada tahap ini Wittgenstein tidak bisa memasukkan bahasa metafisika,
karena metafisika melampaui batas bahasa sehingga tidak dapat dikatakan. Teori
Wittgenstein I meaning is picture ini
maka menandai pula lahirnya filsafat bahasa karena objek kajian terhadap
persoalan yang timbul dengan menguraikan bahasa menjadi proposisi elementer
yang tidak dapat diuraikan lagi. Dengan
demikian proposisi elementer ini menjadi dasar dalam memberikan arti atau makna
sebuah kata dalam suatu bahasa.
Berdasarkan uraian di atas menurut Witgenstein
seluruh filsafat adalah suatu metode yang berupa Critique of Language (Bakker, 1984: 122). Critique
of Language digunakan untuk melakukan kritik terhadap pemikiran para filsuf
yang berguna untuk mengetahui kejelasan suatu konsep yang tidak bermakna atau
bermakna (Baker, 1984: 123).
- Positivisme
Logis (Lingkaran Wina).
Aliran ini mendapat pengaruh dari konsep
Wittgenstein 1 meaning is picture.
Hanya saja uniknya, aliran ini menyandingkan bahasa logika Wittgenstein 1 dan
Russell dengan aliran empiris yang menganalisis sesuatu lewat bahasa dengan
bantuan pengalaman inderawi mereka tanpa alat bantu. Dengan demikian positivisme logis ini hanya
dapat mengungkapkan benda yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan alat indera
manusia, belum bisa menjangkau planet atau satelit atau bakteri. Terdapat lima asumsi yang menjadi dasar
pijakan bagi positivisme logis yaitu realitas objektif, reduksionisme, asumsi bebas nilai, determinisme dan logiko
empirisme. Masih sama dengan Wittgenstein, aliran ini tidak memasukkan
metafisika ke dalam kajian mereka. A.J. Ayer tidak mengakui metafisika sebagai
salah satu cabang ilmu filsafat karena ungkapan atau proposisi mengenai
metafisika dianggap tidak bermakna dan tidak bisa dibuktikan secara inderawi.
- Language Games atau Meaning
is Use (Wittgenstein II).
Teori Meaning
is Use (Wittgenstein II) merupakan
teori kedua walaupun teori pertamanya, yang dianut oleh banyak orang,
Wittgenstein malah menganulir teorinya terdahulu. Meaning is Use bahasa akan
memiliki makna bukan dari cara bahasa tadi menggambarkan sesuatu tapi dari
jenis bahasa itu sendiri. Wittgenstein secara radikal mengubah perhatiannya
dari bahasa logika ke bahasa biasa. Wittgenstein dalam bukunya yang menguraikan
tentang meaning is use mengemukakan
bahwa bahasa memiliki aturan tersendiri yang disebut Language Games (Wittgenstein, 1983: 24).
Language
Games merupakan
tata permainan bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein hakikat bahasa adalah
sangat tergantung penggunannya dalam macam konteks kehidupan manusia yang selalu ada permainan bahasa yang
sifatnya dinamis tidak terbatas sesuai dengan konteks kehidupan manusia dengan
menggunakan tata aturan yang telah disepakati sebelumnya (Wittgenstein, 1983:
23). Dengan demikian setiap kontek
penggunaan yang berbeda juga mempunyai aturan yang berbeda. Oleh karena itu manusia dituntut untuk
mengikuti setiap aturan dalam penggunaannya di dalam masyarakat.
Kesalahan makna yang selama ini menjadi masalah
itu disebabkan oleh pelanggaran aturan penggunaan bahasa itu sendiri. Menurut
(Wittgenstein dalam Kaelan, 2009: 127) dengan penggunaan bahasa biasa, maka
filsafat tidak lagi hanya sekadar berguna untuk menjelaskan sesuatu tapi juga
menyederhanakan sesuatu, Jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaian bahasa”.
Permainan bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein ini banyak menginspirasi
adanya bentuk permainan yang menggunakan bahasa baik bahasa gerak, bahasa
tulis, dan bahasa lisan dengan menggunakan aturan yang telah disepakati. Dengan adanya bahasa permainan ini banyak
muncul olahraga permaianan seperti bola voley, bola basket, sepak bola, bulutangkis,
catur dan sebagainya.
- Austin
J.L.
Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran
yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Ujaran ini disebutnya
performatif sebagai lawan dari konstatif. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah sedangkan
ujaran performatif tidak bisa benar
atau salah, karena ujaran ini memiliki tugas khusus, yaitu dipakai untuk
membentuk tindakan. Semula Austin membedakan antara ujaran yang mengatakan dan
ujaran yang melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan ujaran yang
tidak berupa tindakan dan ujaran yang berupa tindakan.
Namun dalam artikelnya How To Do The Thing With Words, ia mengubah teori aslinya itu. Apa
yang semula dikemukakan sebagai ujaran performatif sekarang dimasukan ke dalam
ujaran konstatif, sehingga terbentuk suatu kelas tindak tutur. Austin menyebut
semua jenis tindak tutur ini dengan tindak ilusioner, dan mempertentangkan ini
dengan tindak yang melibatkan pencapaian efek tertentu terhadap pendengar, yang
disebutnya tindak perlokusioner.
P.F.Strawson menyoroti dan menambahkan beberapa informasi tentang daya
ilokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak lokusioner. Menurut Strawson,
Austin membuat perbedaan antara daya ilokusioner dari sebuah ujaran dengan apa
yang disebut “makna”. Paparan yang mudah dicerna muncul dari Sumarmo (1989)
mengungkapkan, positivisme logika yang berpendapat bahwa suatu ujaran hanya
mempunyai makna kalau kita dapat menemukan nilai kebenarannya. Filsuf
Wittgenstein (dalam Tractatus, 1921) menolak konsep yang dikemukakan oleh Austin mengemukakan bahwa makna suatu ujaran
terletak pada pemakaiannya namun demikian aliran Austin ini masih mendominasi
pada saat itu.
- Aliran
Oxford.
Setelah Perang Dunia II (1945) filsafat analitik
berkembang pesat sampai di kalangan akademisi Oxford dan merambah sampai
Amerika Selatan. Ciri umum dari filsafat analitik yang berpusat di Oxford,
yaitu : 1) pertanyaan utama yang diajukan oleh mereka adalah tentang bagaimana
cara kata-kata dipakai 2) orang menolak metode reduksionistis 3) filsafat analitis beranggapan bahwa hanya dengan
melukiskan pemakaian bahasa secara mendetail banyak persoalan filsuf dapat
dipecahkan.
Kalangan akademisi Oxford banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Wittgenstein periode II. Mereka sepakat dengan Wittgenstein bahwa
kerja filsafat seharusnya berdasar pada bahasa biasa. Para akademisi ini
kemudian membentuk aliran baru dalam filsafat analitik yang dikenal dengan
sebutan Ordinary Language Philosophy.
Beberapa tokoh penting diantaranya adalah G.Ryle dan J. Austin. G. Ryle
memiliki pemikiran yang mirip dengan pemikiran Wittgenstein, bahwa bahasa biasa
sudah memadai untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran filosofis. Meskipun
begitu ia juga memperhitungkan unsur-unsur logika, sehingga sangat
memperhatikan dan menganalisis penggunaan bahasa sehari-hari berdasarkan
prinsip-prinsip logika.
Hal itulah yang membedakannya dengan penganut
atomisme logis yang mendasarkan bahasa ideal dengan struktur logis yang
menggambarkan struktur logis realitas dunia. Analisis Ryle yang sangat rinci
terhadap pemakaian bahasa sehari-hari menggiringnya pada suatu temuan mengapa
banyak terjadi kekacauan dan kekeliruan dalam filsafat. Kekeliruan pokok yang
sering terjadi dalam kegiatan berfilsafat menurutnya karena adanya category
mistake (Kekeliruan mengenai kategori). Kekeliruan ini menurut Bertens (Kaelan,
1998:157) terjadi dalam penggunaan bahasa untuk melukiskan fakta-fakta yang
termasuk kategori satu dengan menggunakan ciri-ciri logis kategori lain.
Category mistake inilah yang ia gunakan untuk mengkritik pemikiran Rene
Descartes tentang manusia yang dualistik (Hidayat, 2006:82). Salah satu cara
untuk menghindari kekeliruan kategori adalah dengan membedakan antara kata-kata
yang menunjukan disposisi (sifat atau kebiasaan) dengan kata-kata yang
menunjukan pada suatu pengertian peristiwa.
Selain itu Ryle juga membedakan adanya dua jenis
kata kerja, yaitu kata kerja yang menunjukan atau mengacu pada suatu tugas dan
kata kerja yang mengacu pada tujuan atau hasil yang akan dicapai. Kata kerja
jenis pertama disebut dengan tasks verb,
sedang yang kedua disebut dengan achievement
verb. Filsuf Oxford lain yang sangat menaruh perhatian besar terhadap
bahasa biasa dalam arti penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari adalah John
Langshaw Austin. Ungkapan yangsering ia sampaikan untuk menunjukan betapa
penting bahasa biasa dalam kehidupan sehari-hari adalah What
To Say When. Austin lalu menamakan konsepnya dengan istilah “linguistic
phenomenology”.
- Noam
Chomsky
Pada tahun 1960-an timbullah aliran baru dalam
lnguistik Noam Chomsky mengutarakan teorinya, pertama syntactic structure, (1957) dan kedua Aspect of the Theory of Syntax,
(1965). Noam Chomsky membuat spekulasi yang cukup berani menentang pemikiran
ahli filsuf bahasa sebelumnya yang hanya berpusat pada struktur dan fisik
bahasa. Chomsky pandangannya pada tindak tuturan berarti ada penutur dan mitra
tutur.
Chomsky tidak puas dengan kegiatan para sarjana
dalam kelompok linguistik modern yang hanya memperhatikan bahasa dari sudut
strukturnya dan fisiknya saja. Chomsky menghendaki agar hubungan antara wujud
bahasa dan pikiran itu dapat dinyatakan di dalam sebuah perangkat sistem
formula yang dinyatakan secara eksplisit dan tegas. Formula yang ada di dalam
komponenen-komponen itu ialah formula yang menjadi gambaran kemampuan penutur
yang ideal. Dalam aliran pemikiran ini pengkajian dipusatkan kepada bagaimana
bahasa itu dibangkitkan dari otak (generated), jadi bukan sekedar menganalisis
data ucapan orang yang dapat direkam. Didalam aliran pemikiran ini juga
ditekankan adanya hal-hal yang bersifat universal yamg dimiliki segala bahasa
di dunia.
C.
Perkembangan
Filsafat Bahasa Pada Zaman Modern
1.
Rene Descartes
Setelah berlalunya zaman abad pertengahan, maka
muncullah masa abad modern yang di awali dengan ‘Renaissance’. Secara harfiah kata ‘Renaissance’ berarti ‘kelahiran kembali’ kepada sumber yang murni
bagi pengetahuan dan keindahan (Hadiwijono, dalam Kaelan,2002:54).
Berdasarkan http://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes
René Descartes dilahirkan di Perancis, 31 Maret 1596, meninggal di Stockholm,
Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun. Rene Descartes dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur
berbahasa Latin, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya
yang terpenting ialah Discours de la
méthode (1637) dan Meditationes de
prima Philosophia (1641). Sedikitnya ada lima ide Descartes yang punya
pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa: (a) pandangan mekanisnya mengenai
alam semesta; (b) sikapnya yang positif terhadap penjajakan ilmiah; (c) tekanan
yang, diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan; (d)
pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptis; dan (e) penitikpusatan
perhatian terhadap epistemologi.
Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah
Rene Descartes sehingga ia layak mendapatkan gelar ‘bapak filsafat modern’.
Filsafat ini di lahirkan di perancis, dan Descartes menyusun satu buku tentang
metode yang berjudul ‘Discours de la
Methode’ (1639) yang artinya yaitu uraian tentang metode. Den metode ini di
kembangkan dan dikenal dengan metode analitis.
2.
Thomas Hobbes
Setelah masa bapak
filsafat modern, muncul filsuf Inggris Thomas Hobbes yang pertama kali
mengembangkan aliran empirisme.
Walaupun Francis Bacon telah menerapkan prinsip-prinsip empiris. Namun Bacon
tidak mengembangkan suatu ajaran yang lengkap melainkan dalam bentuk
pengembangan pada aplikasi di bidang ilmu pengetahuan empiris. Thomas Hobbes
(1588-1679) dilahirkan di Malmesbury, sebuah kota kecil yang berjarak 25
kilometer dari London.[1] Ia dilahirkan pada tanggal 15 April 1588 (Noel Malcolm. 2006:
13-44).
Menurut pendapat F. Budi
Hardiman, 2007: 65-73 Hobbes dikenal sebagai salah seorang perintis kemandirian
filsafat. Hobbes berpendapat bahwa selama ini, filsafat banyak disusupi gagasan
religius. Hobbes menegaskan bahwa obyek filsafat adalah obyek-obyek lahiriah
yang bergerak beserta ciri-cirinya. Menurutnya, substansi yang tak dapat
berubah, seperti Allah, dan substansi yang tak dapat diraba secara empiris,
seperti roh, malaikat, dan sebagainya, bukanlah obyek dari filsafat. Hobbes
menyatakan bahwa filsafat harus membatasi diri pada masalah kontrol atas alam.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Hobbes menyatakan hanya ada empat bidang di
dalam filsafat, yakni: Geometri, yang
merupakan refleksi atas benda-benda dalam ruang; Fisika, yang merupakan
refleksi timbal-balik benda-benda dan gerak mereka; Etika, yang dalam
pengertian Hobbes dekat dengan psikologi; Maksudnya, refleksi atas hasrat dan
perasaan manusia serta gerak-gerak mentalnya; Politik, yang adalah refleksi
atas institusi-institusi sosial; Hobbes menyatakan bahwa keempat bidang
tersebut saling berhubungan satu sama lain; Karena itulah, Hobbes berpandangan
bahwa masyarakat dan manusia dapat dilihat melalui gerak dan materi dalam
fisika.
3.
John Locke
Kemudian muncul John Locke yang merupakan sintesa
rasionalis Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Salah satu pemikiran
Locke yang paling berpengaruh di dalam sejarah filsafat adalah mengenai proses
manusia mendapatkan pengetahuan (Franz Magnis-Suseno. 1992).
Menurut Roger Woolhouse, (1999) Locke menggabungkan beberapa pemikiran
Deskartes, namun ia menentang ajaran-ajaran pokok Deskartes.
Menurut
Locke dalam Franz Magnis-Suseno, (1992: 73-74)
seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Posisi ini adalah
posisi empirisme yang menolak pendapat kaum rasionalis yang mengatakan sumber
pengetahuan manusia yang terutama berasal dari rasio atau pikiran manusia.
Meskipun demikian, rasio atau pikiran berperan juga di dalam proses manusia
memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, Locke berpendapat bahwa sebelum
seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio manusia itu belum
berfungsi atau masih kosong.diibaratkan seperti sebuah kertas putih (tabula
rasa) yang kemudian mendapatkan isinya dari pengalaman yang dijalani oleh
manusia itu. Dengan demikian rasio manusia hanya berfungsi untuk mengolah
pengalaman manusia menjadi pengetahuan sehingga sumber utama pengetahuan
menurut Locke adalah pengalaman.
Locke menentang teori rasionalisme tentang
ide-ide dan asas-asas pertama yang di pandang sebagai bawaan manusia dengan
demikian segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu.
Akal dan rasio bersifat pasif pada waktu
pengetahuan di dapatkan. Akal tidak
melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri namun diperolehnya dari luar akal
melaui indrawi Hadi wijono, dalam (Kaelan, 2002:61).
Kemudian pemikiran Locke di lanjutkan oleh filusuf kelahiran
Irlandia yaitu George Berkeley. Namun perbedaannya terdapat pada kesimpulan dan
dasar-dasar metafisika. Perkembangan filsafat bahasa masa modern ini sangat
berpengaruh dari dua tokoh yaitu David Hume yang memiliki pemikiran empiris
yang paling konsekuen dan radikal. Serta kemunculan pemikiran filsuf jerman
Immanuel Kant menandai suatu era baru dalam bidang perkembangan filsafat. Kant
berusaha untuk melakukan suatu sintesa baru terhadap suatu pemikiran filsafat
yang pada saat itu berkembang yaitu paham Rasionalisme dan empirisme Hadiwijono
dalam (Kaelan, 2002;69).
4.
Immanuel Kant
Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data
inderawi manusia hanya bisa menentukan Fenomena saja. Fenomena itu sendiri
adalah sesuatu yang tampak yang hanya menunjukkan fisiknya saja. Seperti Benda
pada dirinya, bukan isinya atau idenya. seperti ada ungkapan "The Think in it self". Sama halnya
dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia lain secara penampakannya saja atau
fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia tersebut. Inderawi hanya
bisa melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide
abstrak- Plato)
Menurut
Immanuel Kant dalam Abdur Rozak dan Isep Zainal Arifin, 2002:282 cenderung
mendapatkan "ilham" atau terinmspirasi dari Plato, tapi tidak
semuanya, dia "menyempurnakannya" dengan menggabungkan dengan
Pengalaman Empirisme ajaran Aristoteles. Plato beranggapan Fenomena yang
membentuk Nomena, Ide di atas
segalanya, Ide yang membentuk sebuah yang nyata, seperti halnya Tuhan
menciptakan Manusia. Immanuel Kant terinspirasi dari Plato terlihat dari teori
3 postulat "buatan". Sesuatu yang kita percaya, namun sulit
dibuktikan: 1) Free Will, Kehendak yang bebas; 2) Keabadian Jiwa, Immortaolitas
Jiwa (warisan Plato. Manusia mati, tetapi Jiwa tak pernah Mati, makanya ide
bersifat abstrak dan di atas segalanya); 3) Tuhan, merupakan sesuatu yang kita
percaya dan yakini akan keadaanya, akan tetapi sulit untuk mebuktikan
kenampakan fisiknya.
5.
August Comte
Pada abad ke-19
timbulah aliran filsafat ‘Positivisme’yang menandai semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan Modern. Menurut aliran tersebut bahwa pengetahuan berpangkal dari
apa yang telah di ketahui, yang factual atau yang ‘positif’ sehingga pemikiran
August Comte yang terkenal adalah tiga
tahap perkembangan pemikiran manusia,
baik manusia perorangan maupun manusia secara keseluruhan. Menurut
Sutton, Michael (1982) tahap Comte
adalah (1) tahap teologis, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif.
(1) Tahap Theological di mana tempat manusia dalam
masyarakat dan pembatasan masyarakat atas manusia yang direferensikan kepada
Allah, manusia percaya pada apa pun yang
diajarkan oleh nenek moyangnya dan percaya pada kekuatan supranatural. (2)
Berdasarkan "Metafisika" panggung, Comte tahap metafisik ini
melibatkan justifikasi hak universal berada lebih tinggi dari otoritas setiap
penguasa manusia untuk membatalkan perintah, meskipun mengatakan hak itu tidak
direferensikan ke suci lebih dari sekadar metafora. Tahap ini dikenal sebagai
tahap penyelidikan, karena orang-orang mulai penalaran dan pertanyaan meskipun
tidak ada bukti yang kuat dibaringkan. Tahap penyidikan adalah awal dari dunia
yang mempertanyakan otoritas dan agama. (3) Dalam tahap Ilmiah, yang muncul
setelah kegagalan revolusi dan Napoleon, orang dapat menemukan solusi untuk
masalah sosial dan membawa mereka berlaku meski pernyataan hak asasi manusia
atau nubuatan kehendak Allah. Ilmu mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan di
peregangan penuh. Dalam hal ini ia mirip dengan Karl Marx dan Jeremy Bentham.
Dengan demikian filsafat bahasa dapat dikaji
menggunakan logika atau penalaran yang berupa proposisi atau pernyataan yang
sifatnya umum atau khusus untuk dijadikan dasar dalam pengambilan
keputusan. Selain itu juga filsafat
bahasa makna kata dapat dikaji dengan menggunakan permainan bahasa dan tindak
tutur yang disesuaikan dengan konteks penggunaannya. Dengan demikian makna kata dalam suatu
kalimat, makna bahasa dalam suatu wacana sangat tergantung dengan konteknya.
Kata yang sama dalam sebuah kalimat, bahasa yang sama dalam sebuah tuturan
sangat tergantung artinya pada situasi dan kondisi pada saat kegiatan tersebut
dilakukan. Sebagai contohnya kata
“bajingan” kalau kata tersebut dituturkan dalam keadaan tak resmi tidak etis,
atau dalam bahasa tulis dipajang di kantor pemerintah pasti akan menimbulkan
permasalahan baru.
Komentar
Posting Komentar