KAJIAN SASTRA POSKOLONIALISME


KAJIAN POSTKOLONIAL DALAM NOVEL LARASATI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER SKRIPSI. PACITAN: STKIP PGRI PACITAN, 2013

Oleh
MUTIAH
ABSTRAK
  
Mutiah.  Kajian Postkolonial Dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer Skripsi. Pacitan: STKIP PGRI PACITAN, 2013.
Novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah novel yang merefleksikan kehidupan masyarakat Indonesia ketika terjadi pergolakan revolusi pada zaman kolonial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1). Mimikri dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer, 2). Marginalitas  dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer, 3). Diskriminasi identitas dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan kajian postkolonial sastra. Objek  penelitian ini adalah novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara, Jakarta Timur pada Juli 2003 (cetakan kesatu) setebal 178 halaman. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi.Hasil analisis data menyimpulkan bahwa: 1) Mimikri dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer terjadi akibat peniruan sikap orang Indonesia yang lebih suka menirukan bangsa penjajah dengan sikap arogan, membentak, menghardik, memerintah dengan paksa dan menodongkan pistolnya kepada sesama rakyat Indonesia sebangsa setanah air, 2) Marginalitas dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer adalah tedapat kelompok-kelompok masyarakat yang dipinggirkan karena status sosialnya dianggap rendah,  3) Diskriminasi  identitas dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer Larasati, diposisikan sebagai orang pribumi yang mempunyai identitas kebangsaan berlawanan dengan tokoh protagonis seperti Kolone Suryo Sentono dan Djusman yang berpihak pada penjajah. diskriminasi perempuan ialah sikap peleceh anterhadap perempuan. Perempuan dianggap sebagai objek kaum laki-laki karena mereka orang yang lemah dengan identitas dirinya baik sikap, gaya hidup atau pikirannya serta rasa cinta kepada tanah air. Mereka tidak larut dan terpengaruh oleh penjajahan baik dalam sikap, gaya hidup maupun pikirannya. Mereka tetap menampakkan jati dirinya bahwa mereka adalah rakyat Republik Indonesia yang mencintai tanah air.
 Kata Kunci:Mimikri, Marginalitas, Diskriminasi Identitas, Postkolonial, Sastra.
PENDAHULUANKarya sastra adalah salah satu bentuk  kegiatan kreatif dan produktif yang dapat menghasilkan  sebuah karya yang memiliki nilai rasa estetis serta mencerminkan  realitas sosial  dalam kehidupan bermasyarakat. Karya sastra lahir karena timbulnya rasa keinginan  dari pengarang untuk mengungkapkan ide, gagasan dan pesan tertentu yang tertuang oleh imajinasi dan realitas sosial kehidupan yang menggunakan media bahasa sebagai penyampainya. Menurut genrenya karya sastra dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : prosa (fiksi), puisi dan drama. Dari ketiga jenis genre sastra tersebut penulisannya memfokuskan kajiannya pada prosa fiksi, salah satunya novel.
Novel merupakan salah satu karya sastra yang mampu menggambarkan dan yang mencerminkan kehidupan yang nyata dalam  sebuah masyarakat, karena novel pada dasarnya adalah pengetahuan realita nonilmiah  yang muncul dan terjadi dalam suatu masyarakat. Dalam menulis karya sastra seperti novel pengarang tidak bisa lepas dari berbagai  pengalaman dan lingkungan yang membesarkannya. Perjalanan hidup, lingkungan, pandangan hidup, keyakinan, ekonomi, politik, sosial dan berbagai unsur lainya sangat berpengaruh, sebab tidak  ada karya sastra yang lahir secara mandiri.Novel Larasati karya pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah novel yang merefleksikan  pergolakan revolusi di Indonesia setelah proklamasi. Kehidupan warga masyarakat Indonesia yang dikuasai oleh penguasa penduduk yang bekerja sama dengan penjajah untuk melemahkan perjuangan  bangsa Indonesia. Adapun yang menarik untuk diteliti dari roman Larasati ialah dikarenakan roman ini memaparkan dan mendeskripsikan situasi pergolakan revolusi pascaproklamasi Indonesia dan penjajahan sosial yang  mempengaruhi serta  menjadi penyebab timbulnya berbagai sikap manusia dalam menghadapi situasi tersebut.
Berdasakan latar belakang di atas, maka penelitian ini mengambil judul   Kajian Postkolonial Terhadap Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer. Karena novel Larasati   secara umum menceritakan penjajahan yang terjadi di bangsa Indonesia, sehingga terdapat aspek-aspek postkolonial yang menarik untuk diteliti.
Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana mimikri dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer?
2.      Bagaimana marginalitas dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer ?3.      Bagaimana diskriminasi identitas dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer?
 KAJIAN PUSTAKAPengertian Sastra            Sastra berasal dari kata Sas (Sansekerta) yang mempunyai arti mengarahkan¸ mengajar¸ memberi petunjuk dan instruksi. Menurut A Teeuw (dalam Ratna, 2004:4). Akhiran tra yang berarti alat atau sarana. Jadi kesimpulanya sastra menurut kajian berdasarkan leksikal adalah sebuah kumpulan alat untuk mengajar dengan buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Dalam perkembangan berikut sering dikombinasikan  dengan awalan “su” sehingga menjadi susastra, yang  diartikan sebagai hasil penciptaan yang baik dan indah.            Karya sastra ialah hasil imajinasi manusia yang bersifat  indah dan menimbulkan kesan yang indah pada jiwa pembaca. Sastra menurut Semi (1988:8) adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.            Pendapat serupa karya sastra adalah karya seni yang menggunakan bahasa mediumnya.  Selain itu karya sastra  merupakan hasil  renungan imajinasi  manusia baik lisan maupun tulis. Bahasa sebagai pengantar yang mempunyai nilai estetika yang sangat dominan. Seperti halnya karya seni yang lain, karya sastra adalah refleksi dari pengalaman hidup dan kehidupan manusia, baik  itu  gambaran hidup dan kehidupan manusia secara nyata maupun hanya rekaan semata, yang dirangkai dengan sedemikian rupa menggunakan  imajinasi, persepsi, dan keahlian pengarang kemudian  disajikan melalui sebuah media yaitu bahasa.
            Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medium. Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya maka sastra tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan, tetapi juga merupakan media untuk menampung ide, teori, atau sistem berpikir manusia. Sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia (Semi, 1988: 8).            Sehingga dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sastra atau kesusastraan adalah bahasa yang indah, baik itu berupa tulisan maupun lisan yang berisi suatu pengungkapan  kehidupan dan bersifat imajinatif. Pengertian  Novel
            Novel berasal dari bahasa Italia yaitu, novell (yang dalam bahasa Jerman novelle). Kemudian secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa Abrams (dalam Nurgiyantoro,2002: 9). Pada dasarnya novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas. Novel adalah sebuah karya fiksi yang mengungkapkan tentang aspek–aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus (Semi,1988:32).            Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang. Sebuah novel mengandung permasalahan yang menyangkut kehidupan manusia yang sangat komplek. Informasi tersebut kadang terasa   nyata dan hidup karena jalinan terjadi pada masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu.    Novel merupakan salah satu karya fiksi yang menceritakan  tentang kehidupan manusia. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Dalam KBBI (1995: 694)  dijelaskan bahwa novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
            Goldmann (dalam Faruk 1994:29) mendefinisikan novel sebagai cerita tentang pencarian yang terdegradasi (penurunan) akan nilai–nilai yang asli yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia  yang juga terdegradasi. Nilai–nilai yang otentik yaitu nilai-nilai yang mengorganisasikan dunia novel secara keseluruhan meskipun secara implisit tidak eksplisit. Sedangkan novel hero problematik yakni merupakan sebuah novel yang berhubungan dengan ekonomi liberal yang terkait dengan nilai kehidupan individu secara universal yang diakui berdasarkan pada realitas.            Sebagai salah satu karya sastra, novel memiliki banyak kelebihan. Kelebihan novel yang khas adalah dapat mengemukakan sesuatu secara bebas menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks terhadap kelebihan novel menilik arti aspek panjang cerita yang dimiliki novel. Oleh sebab itu, unsure-unsur pembangun sebuah novel, seperti alur, tema, penokohan dan latar secara umum dapat dituangkan secara penuh untuk mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi“.            Dari pengertian di atas maka dapat disimpulan bahwa novel adalah suatu karya  prosa fiksi panjang yang  menciptakaan satu kemestaan yang lengkap yang berisi tentang nilai–nilai kehidupan manusia yang didasarkan pada daya imajinasi. Karena menguraikan kehidupan secara menyeluruh. Novel sebagai salah satu bentuk prosa fiksi juga memiliki unsur yang kompleks yang saling berkaitan Teori Postkolonial            Teori postkolonial secara praktis maupun teoretis dipicu oleh orientalisme yang dikembangkan oleh Edward Said. Postkolonial  sesungguhnya lahir melalui orientalisme. Orientalisme berasal dari kata orient yang berarti timur. Dalam hal ini orang–orang yang menulis tentang bangsa timur disebut orientalis, objek kajiannya ialah pengalaman kolonial, sedangkan kegiatanya disebut orientalisme.            Menurut Ratna (2008:34) dalam orientalisme masyarakat yang terjajah digambarkan sebagai inferior, irasional, yang dapat dikontrol, dan dapat dimanipulasi oleh pihak yang dominan. Sikap seolah-olah memajukan kehidupan bangsa-bangsa yang dianggap masih terbelakang sehingga penduduk pribumi menjadi lebih beradap, adalah slogan terpenting yang selalu dikaitkan dengan ciri khas orientalisme.Oleh sebab itu pula, Said mengatakan bahwa orientalisme merupakan teks-teks predatoris yang secara perlahan-lahan mengisap kekuatan bangsa timur (Ratna, 2008:27-28)            Shelly Walia (dalam Ratna,2008:84) berpendapat bahwa banyak yang pendapat yang timbul tentang teori postkolonial, sehingga cukup sulit untuk menentukan secara pasti kapan teori postkolonial lahir. Proyek postkolonialisme pertama kali dikemukakan oleh Frantz Fanon dengan bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks dan the Wretched of the Earth (1967) terjemahan Peau Noire, masques blancs (1952).            Teori postkolonialisme lahir sesudah banyaknya negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya. Teori postkolonialisme mencakup seluruh khazanah sastra nasional yang pernah mengalami kekuasaan masa kerajaan sejak awal kolonisasi hingga sekarang Bill Ashcroft (dalam Ratna, 2009:207).           Postkolonial adalah sekumpulan strategi kritis yang digunakan untuk mengkaji hal-hal yang mengekalkan kebudayaan imperial kolonial, seperti kesusanstraan, politik, ekonomi, sejarah dan lain sebagainya. Pendekatan postkolonial terhadap kajian sastra membicarakan bagaimana teks-teks satra dengan berbagai caranya mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antarras, antarbangsa dan antarbudaya dalam kondisi hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal zaman imperalisme Eropa ( Faulcher dan Day, 2008:2-3 ).            Sementara itu menurut Budiman “Pengantar Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial” menyatakan bahwa postkolonial dipahami sebagai kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan “jejak-jejak” kolonialisme. Jajak-jejak yang diungkapkan seperti konfrontasi “ras-ras, bangsa-bangsa dan kebudayaan-kebudayaan” yang terjadi dalam ruang lingkup “hubungan kekuasaan yang tidak setara”. berakibatkan sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas bangsa- bangsa di dunia ketiga.            Pendapat serupa mengenai kajian postkolonial dalam sastra merupakan strategi  bacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi adanya tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut. Istilah postkolonialitas menunjukkan adanya tanda-tanda dan efek-efek kolonialisme dalam sastra, tapi ia pun mengacu pada posisi penulis postkolonial sebagai pribadi dan suara naratifnya dengan cara yang dapat menarik perhatian pada konteks yang lebih luas dimana dibangun makna dalam dan sekitar teks sastra atau kritis itu sendiri ( Faulcher dan Day, 2008:2-3 ).            Sebagai teori postkolonial, dalam praktiknya dengan konsep atau cara-cara pemahaman untuk menjelaskan objek. Postkolonial ialah cara baru dan cara yang berbeda untuk memahami objek yang sama. Jadi, gejala yang disebut postkolonial itu teorinya, bukan objeknya. Tidak  ada objek yang khas bersifat postkolonial. Sebagai variabel tetap, objek bersifat netral, objek adalah objek dalam kondisi objektif. (Ratna,2008:89).            Kajian postkolonial, dengan sendiri tidak akan melupakan aspek-aspek kolonial, yaitu “penjajah”dan “terjajah”, penjajahan masa kini, hanya mimikri dari masa lalu. Maksudnya, “penjajah” dan “terjajah” selalu memposisikan pada subjek, arogan, yang ingin menang sendiri dan menguasai masyarakat setempat terjajah. Akibatnya, masyarakat ”terjajah” harus tunduk dalam segala hal, yang bersikap meniru, mengikuti jejak dan tidak berkreasi sama sekali (Endraswara,2008:178).
            Faruk ( 2013)  mengatakan bahwa teori postkolonial adalah memiliki beberapa asumsi antara lain:             Pertama teori postkolonial melibatkan pembicaraan mengenai aneka jenis pengalaman seperti migrasi, perbudakan, penekanan, perbedaan,  ras, gender, tempat dan lain sebagainya yang berpengaruh  dari kekuasaan imperial Eropa seperti sejarah, filsafat, linguistik, dan pengalaman dasar dalam berbicara dan menulis yang dengannya keseluruhan hal di atas mewujud. Meskipun demikian studi-studi postkolonial dapat diartikan sebagai studi-studi yang didasarkan pada fakta historis kolonialisme Eropa dan aneka efek material yang ditimbulkan oleh kolonialisme itu. Dengan demikian teori postkolonial tidak mengacu kepada segala bentuk marginalitas yang tidak berkaitan dengan proses kolonialisme yang historis.Kedua bahwa sebagai lapangan produksi dan analisis cultural, teori postkolonial mencakup tiga kemungkinan yaitu: a) pada kebudayaan masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa, baik berupa efeknya yang masih berlangsung sampai pada masa postkolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk yang disebut neokolonialisme internal maupun global. b) respon perlawanan atau wacana tandingan dari masyakat terjajah maupun terhadap penjajahan, tanpa menghilangkan perhatian pada kemungkinan adanya ambiguitas atau ambivalensi, dan c) segala bentuk marginalitas yang diakibatkan oleh segala bentuk kapitalisme.
            Teori postkolonial menyangkut perdebatan mengenai perjalanan dalam berbagai jenis yaitu migrasi, perbudakan, penindasan, resistensi, representasi, perbedaan ras, gender, kekuasaan . toeri postkolonial juga memandang nasionalitas sebagai suatu usaha untuk melahirkan tindakan untuk menyatukan kelompok-kelompok, bangsa-bangsa yang terpisah di bawah tanda entitas politik, pemerintah, dan ekonomi. Sugiarti ( dalam Bakti,2010).
            Dari uraian-uraian di atas, teori postkolonial dapat disimpulkan sebagai teori kritis yang mengungkapkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Strategi kritis yang digunakan untuk mengkaji hal-hal yang mengekalkan kebudayaan imperial kolonial, seperti kesusanstraan, politik, ekonomi, sejarah dan lain sebagainya.           
METODE PENELITIANJenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian  kualitatif diskriptif. Analisis kualitatif deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami  oleh subjek penelitian. Data dalam penelitian ini berupa  yaitu berupa teks, narasi, deskripsi serta percakapan dalam tiap subbab dalam novel yang masuk  dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer. Pengumpulan data ini dilakukan dengan teknik baca, catat, dan  dengan teknik analisis isi (content analysis) yang merupakan strategi analisis untuk mengungkapkan, memahami dan menangkap pesan yang terkandung dalam karya sastra (Endraswara,2008;161). Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif, sebab data-data yang diperoleh dan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data deskripsi nonverbal.
 PEMBAHASANMimikri dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer.
Masalah yang pertama yang terjadi di masyarakat penjajahan  adalah kesadaran. Kesadaran untuk peningkatan martabat diri agar setara dengan bangsa penjajah yang ditempuh melalui peniruan atau mimikri Dalam roman ini terdapat banyak hal sikap dan tindakan yang dilakukan oleh beberapa tokoh yang dapat dikategorikan sebagai proses mimikri.  masyarakat terjajah dalam menghadapi wacana penjajah adalah emansipasi, peningkatan martabat diri agar setara dengan bangsa penjajah yang ditempuh melalui peniruan atau mimikri (Bhabha dalam Faruk, 2001:75). Seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Seorang berteriak:”Turun, ayo, semua turun!” kemudian memukul-mukulkan cemetinya pada badan gerbang. Dan sampai di sini, Larasati berpikir, mulai kita jadi binatang di atas bumi kelahiran sendiri…Seorang berteriak histeris,”Dimana yang pelopor?Kowe?” Beberapa opsir memerintah para penumpang dengan ujung pestolnya.( MK 1). Kutipan di atas menggambarkan sikap orang Indonesia yang telah berkhianat dan lebih suka menirukan bangsa  penjajah dengan sikap arogan serta merasa status sosialnya lebih tinggi daripada bangsa Indonesia bahkan lebih suka menindas bangsanya sendiri. Mereka membentak, menghardik, memerintah dengan paksa dan menodongkan pestolnya kepada sesama rakyat Indonesia sebangsa setanah air. Di samping sikap dan tindakan mereka juga meniru bagaimana penjajah menggunakan bahasa untuk menyebut masyarakat yang terjajah. Kata ‘kowe’ menunjukkan mereka lebih tinggi derajat dan status sosialnya.
Setelah melihat perlakuan opsir-opsir yang memerintah seolah-olah seperti penjajah kemudian Larasati merasa sangat marah kepada opsir-opsir penjajah tanah airnya. Seperti yang terdapat kutipan sebagai berikut.“Larasati menahan amarahnya.Ia teringat pada kanak-kanak yang berjuang mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. Dan di bawah kakinya sekarang:daerah pendudukan Belanda, diduduki sesudah membunuh anak-anak tanpa dosa. Pembunuh-pembunuh yang menjual tanah air untuk dapat sekedar makan dan pakaian”. (MK 2). Kutipan di atas bisa dilihat bagaimana Larasati merasa terpukul dengan perlakukan para penghianat tanah air yang  tega membunuh anak-anak tanpa dosa, para penghianat yang membunuh dan menjual tanah air hanya untuk kepentingan diri sendiri. Proses mimikri / peniruan  yang ditunjukkan oleh seorang tokoh bernama Kolonel Suryo Sentono. Orang Indonesia yang ikut bergabung dengan Belanda kemudian sikap dan tindakannya seperti penjajah.Dalam dialog-dialognya sangat terlihat dia merasa lebih tinggi derajatnya dari pada Larasati. Diperkuat dengan kutipan dibawah ini.“Kehormatan mana lagi yang mesti kau pertahankan?”Kembali air mata membasahi matanya yang baru sebentar kering. Tetapi Larasati tahu, terhadap pengkhianat-pengkhianat ini tak perlu mengalah, iapun tak akan pernah....”memang aku hanya seorang pelacur, tuan Kolonel. Tapi aku masih berhak punya kehormatan.Karena, aku tidak pernah menjual warisan nenek moyang pada orang asing.”Ia melihat kolonel itu menjadi pucat. ( MK 3 ). Dari kutipan-kutipan di atas nama Kolonel Suryo Sentono menunjukkan bahwa dia orang Indonesia asli apalagi nama tersebut menunjukkan identitas sebagai orang Jawa. Namun karena dia lebih tertarik ikut penjajah maka sikap, pikiran dan tindakannya seperti penjajah. Seperti yang telah dikatakan kepada Larasati ‘Kehormatan mana lagi yang harus kau pertahankan?’, dia menganggap bahwa pejuang seperti Larasati tidak pantas mempunyai kehormatan, akan tetapi dimata pejuang penilaian seperti itu tidak penting yang penting tidak mengkhianati tanah air termasuk tidak menjual tanah air.
“ Aku mengerti apa yang kau maksudkan dengan kehormatan. Kau republikein. Tapi lihat,”dan ia menudingkan tongkat-komandonya pada barisan howitzer yang berderet bersaf-saf…  Mereka akan antarkan kau sesuai dengan martabat dan kehendakmu: bintang film nomor wahid! Ia pukul-pukulkan tongkatnya pada pahanya sendiri. Meneruskan, “ Lupakan yang di seberang sana,” sambil menunjukkan tongkatnya kearah Cikampek. ( MK 4 ). Kutipan di atas mengemukakan perendahan terhadap terjajah dengan cara memberitahu dengan tongkatnya dan mengatakan bintang film nomor wahit dengan menghinakan. Kata bintang film nomor wahid menunjukkan seorang bintang film yang gagal dan tidak ada artinya dengan mempertahankan kehormatannya. Perilaku peniruan yang dilakukan oleh komandan dengan memukul-mukulkan tongkatnya serta mengatakan bintang film nomor wahit  tersebut menunjukkan proses peniruan dari bangsa barat yang merasa bahwa dirinya yang paling tinggi derajatnya. Seperti yang diperkuat dengan kutipan berikut.“Dunia modern ini,” kolonel itu memulai,” dibangun di atas pucuk meriam. Kau dengar, Ara? “ …. Barangsiapa tidak cukup punya meriam, sekarang atau besok lusa atau lusanya lagi, dia harus menyerahkan diri pada yang punya lebih banyak ( MK 5 ).
 Kutipan di atas menunjukkan bahwa suatu kehidupan yang baru  itu di bangun  atas dasar dari orang barat yang mempunyai banyak meriam , orang timur tidak mungkin mempunyai banyak meriam sehingga harus menyahkan diri terhadap bangsa barat yang mempunyai banyak meriam, jadi orang timur harus tunduk terhadap bangsa barat, sama halnya kutipan di bawah ini.… Kolonel inlender itu berhenti berjalan. Juga Larasati berhenti berjalan. Opsir tinggi Nica itu melototkan mata padanya. Dengan suara berang, keras, dan tinggi ia memekik, “ Kau tidak tahu politik! Otakmu yang sederhana itu sudah diaduk politik!” ( MK 6 ).  Berdasarkan kutipan di atas  diperjelas bahwa seorang kolonel Nica dengan melototkan mata serta suara keras dan memekik mengatakan bahwa ‘ otakmu yang sederhana’ jadi orang terjajah selalu dianggap rendah oleh bangsa penjajah. Bangsa penjajah selalu mensuperioarkan bangsanya dan bangsa terjajah menjadi bangsa inferior sehingga jelas berbeda dilihat dari segi apapun.Kolonel Suryo Sentono benar-benar tidak lagi terlihat ciri ke Indonesianya kecuali dari namanya saja. Bahkan perasaan lebih tinggi daripada orang Indonesia jelas terlihat lagi ketika dia berdialog dengan Mardjohan. Mardjohan juga sama seperti sang kolonel. Mereka menganggap para pejuang seperti binatang. Seperti kutipan di bawah ini.“Dan Mardjohan terbirit-birit menghadapi Suryo Sentono.”Bawa bintang film terkemuka ini menonton penjara.”...”Penjara mana, tuan Kolonel?”. “Husy ,kau tahu di mana monyet-monyet itu dikurung, pergi!”. ( MK 7 ). Dari kutipan di atas digambarkan sangat jelas peniruannya Suryo Sentono, dia menganggap orang sebagai binatang. Padahal dia juga sama sebagai manusia, tetapi Suryo Sentono telah buta mata hatinya terhadap bangsanya. Suryo Sentono telah suka menirukan  gaya orang Belanda yang suka merendahkan orang lain seperti manusia dibilangnya monyetak, tidak hanya merendahkan orang lain tetapi suryo sentono juga rela membunuh dan memperbudakkan orang bangsanya sendiri.
Demikian kapten komandan itu membuka dan menutup kembali jendela-jendela pada pintu sel-sel kiri-kanan gang itu satu-persatu. Ahirnya sampailah ia di pojokan dimana gan itu membelok. Kembali kapten itu membuka jendela sebuah pintu. Tapi tiada seorang pun yang menyahut memberi laporan. Kapten itu hilang kesabarannya. Dengan kasarnya ia tendang pintu sel itu. Mukanya merah. Menggertak:” Muncul, kau, binatang!” ( MK 8 ). Komandan suryo sentono merupakan seorang komandan yang berasal dari bangsa timur setelah komandan menggabungkan diri dengan Nica maka sikap dan perilakunya pun berubah seperti yang digambarkan dalam kutipan di atas bahwa komandan yang begitu keras dan kasar tehadap tawanan dengan menendang pintu sel dan menggertak muncul kau binatang, seorang komandan yang menganggap tawanannya sebagai binatang. Hal tersebut menggambarkan keberhasilan hegemoni yang di bawa bangsa barat terhadap bangsa timur.
 Marginalitas dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer.Setelah membaca novel Larasati terlihat adanya sebuah kelompok pinggiran tidak hanya itu bentuk perlawanan antara penjajah dan terjajah sebagai salah upaya yang dilakukan oleh penjajah untuk melakukan tindakan-tindakan hegemonik. Marginalisasi merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi marginal, baik terjadi secara alamiah maupun dikreasikan sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan. (http://ikhsankurnia.blogspot.com/2011/12/teori-marginalisasi-masyarakat.html). Seperti yang terjadi pada diri Mardjohan dalam kutipan berikut.“Akhirnya hanya keluhan yang terdengar dari mulutnya,”Orang Timur seperti kita, Ara, terikat pada hutang-budi.”“Benar’. “Aku banyak berhutang budi pada tuan Kolonel....Kau tak pernah berhutang budi, Ara?”.“Tentu.Pada tanah air, hanya pada bangsaku. Pada perorangan tidak”.( MG 9 ).Berdasarkan kutipan di atas adalah munculnya kata orang timur dan hutang budi. Kata ‘orang timur yang diucapkan oleh Mardjohan menunjukkan bahwa orang timur dianggap orang-orang marginal,lemah dan kalah. Hutang budi menunjukkan bahwa orang timur tidak berdaya dihadapan penjajah karena mereka seolah-olah telah melakukan kebaikan. Inilah keberhasilan penjajah terhadap terjajah. Mereka seolah-olah menolong tapi pada dasarnya rakyat Indonesia sedang diperdaya dan digunakan untuk kepentingan penjajah.
“  waktu revolusi pecah segera mayorbesar Surjo Sentono dibebaskan oleh sekutu dari kamp Jepang, menggabungkan diri dengan Nica. Maria Magdalena Sentino lari, menggabungkan diri dengan korps mahasiswa melakukan perlawanan dengan Nica. Dua manusia dari satu darah kedua-duanya berhadap-hadapan sebagai musuh. Ayah dan anak sang ibu tinggal menangis. Aku lepaskan cintaku pada Maria. Aku berpihak pada ayahnya… Soalnya balas-budi, Ara. Hutang-budi memang berat. Coba rasakan betapa penderitaan yang di tanggung si ayah karena si anak”. (MG 10). Kutipan di atas menunjukkan hutang budi dari orang pinggiran yang menunjukkan marginal dan balas budi yang digambarkan  dalam percakapan Ara dan Mardjhohan, demi sebuah kedudukan dan pangkat Mardjhohan tega menghianati bangsanya sendiri dan dia pun rela melepaskan cintanya kepada anaknya karena memilih berpihak kepada ayahnya, karena dengan berpihak kepada ayahnya Mardjhohan akan mendapat kedudukkan dan pangkat setelah itu akan dengan mudahnya mendapatkan wanita manapun yang ia suka.

... Dia tahu sudah, ibunya Cuma bisa jadi babu-paling tinggi! Babu siapa? Babu Belanda?dia akan tewas dibunuh pemuda. Tidak, tentu bukan babu Belanda. Babu orang Indonesia pun tidak mungkin. Tak bakal mampu orang Indonesia punya babu dalam keadaan begitu sulit beras. ( MG 11 ).
 Kutipan di atas menujukkan ibu Ara sebagai orang Indonesia bisanya hanya bekerja sebagai babu itu pun babu Belanda, karena tidak mungkin orang Indonesia mampu punya babu. Jika tidak jadi babu belanda maka dia akan tewas dibunuh oleh para pemuda.
Malam itu lampu minyak tanah tanpa semprong kelap-kelip di beranda. Sebuah menyala di dalam. Larasati dalam house coat berbaring dibale ibunya. Antara sebentar kepiding menyerang lengannya, di mana kulitnya telanjang tiada terlindung. Dari jauh terdengar suara tembak menembak gencar, dengan kerabin, dengan senjata otomatik ringan. Ia merencanakan hari esok kini, tapi tak ada sesuatu pun gambaran datang ke dalam kepalanya. ( MG 12 ) Berdasarkan kutipan di atas tergambarkan bagaimana kehidupan dimasa revolusi, kehidupan yang belum menentu, ketika malam tiba hanya ada penerangan lampu dengan minyak tanah, tidur dengan tanpa selimut dan pakaian house coat ini yang menunjukkan kehidupan orang pinggiran sangat jelas berbeda dengan orang barat yang selalu hidup dengan enak,  serta bagaimana  ketika malam tiba selalu ada pertempuran suara tembak menembak yang sangat menggencarkan, tidak ada orang yang bisa tidur lampu minyak tanah yang menggambarkan kehidupan orang timur dan pakaian house coat yang dikenakan menggambarkan orang barat. Perhatikan dalam kutipan di bawah ini sebagai berikut.
Mari tidur .melupakan semuanya”.“Tidur? Hhh. Tidur, katanya. Di sini tak ada orang tidur Ara. Kau dengar derap sepatu tadi? Sebentar lagi mereka tinggalkan kampung kita. Jam tiga malam datang lagi. Jam   lima pergi lagi. Kau dengar pertempuran tadi. Sebentar lagi lebih hebat. Dekat-dekat jam tiga pagi puncaknya. Di sini orang tidaki tidur. Mereka bilang jangan tidur! Dan kalau ada yang terluka, kita kakek-kakek dan nenek-nenek merawat, kalau ada yang gugur kita kakek-kakek dan nenek-nenek ini menguburnya. Di pekarangan rumah-rumah kita ini juga.”.( MG 13 ). Kutipan di atas memberi pengertian bahwa selama terjadi pergolakan revolusi digambarkan kehidupan orang timur sebagai terjajah, tidak  ada orang tidur,  karena setiap malam ada pertempuran ketika ada yang terluka bagaimana kakek-kakek dan nenek-nenek itu yang merawatnya dan ketika ada yang gugur kakek-kakek dan nenek-nenek juga yang menguburnya di pekarangan rumah bagaimana pahitnya hidup dimasa revolusi orang tidak ada yang tidur dan hidup  di antara pejuang yang masih hidup dan yang mati ini merupakan sesuatu yang menjunjukkan bahwa disini pernah terjadi pertempuran antara penjajah dan terjajah. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini.“Jadi kita hidup di antara pejuang-pejuang yang hidup dan yang sudah tewas. Memang tidak layak tidur. ( MG  14 ). Dari kutipan di atas di jelaskan bahwa hidup di antara pejuang- pejuang yang masih hidup dan yang sudah tewashal itu juga yang menggambarkan marginal dari kelompok masyarakat. Benar-benar orang  tidak bisa tidur lagi pula tidak pantas jika tidur dan tidak layak tidur di samping para pejuang yang telah tewas.
Dengan kokohnya memegang revolusi, Larasati tetap maju untuk mendukung revolusi supaya tidak hidup dalam ketakutan terus menerus. Sehingga semangat untuk revolusi menjadikan Ara yang seorang perempuan merelakan untuk ikut bertempur seperti dalam kutipan  berikut.
“Malam ini kami ikut bertempur. Mengapa diam semua?”“Ara!.” Seru Ibunya.“Apa yang ditakuti, bu? Kita semua hidup terus menerus dalam ketakutan. Apa kalian biasanya ketakutan?Tidak ada. Kalau revolusi menang, tidak seorang pun perlu takut lagi. Mari berangkat!” (MG 15).
 Pada kutipan di atas bisa dilihat seberapa besarnya pengorbanan Larasati yang rela berkorban untuk revolusi.Walaupun Larasati adalah seorang wanita, tetapi tidak menghalangi dirinya untuk mengikuti perang melawan tentara Belanda. Dia menyadari ajal mungkin akan menjemputnya bila dia mengikuti perang ini akan tetapi Larasati tetap berani untuk mengikuti perang tersebut. Dan saat itu juga Larasati dipenuhi dengan perasaan takut dan bingungakan keberadaanya di medan perang. Akhirnya diapun melepaskan semua kekhawatiran dan ketakutannya, ketika dirinya terjun ke medan perang.
“ Aku tak pernah suruh kau, Ara. Aku tak pernah larang kau, aku juga tak pernah meminta sesuatu pun darimu.Cuma sekali ini aku meminta, kembalilah kau kepedalaman. Kau tak boleh macam yang sudah-sudah. Kau mesti mulai hidup yang benar, yang sungguh-sungguh. Jadilah wanita biasa seperti ibumu sediri dulu, punya suami yang benar, punya anak yang benar. Cuma itu pintaku, Ara. ( MG 16 ). Pada saat Jusman telah terluka di rumah sakit dan potongan tangan Jusman dikirim kerumah, Larasati terkena sedikit darah Jusman di tangannya akan tetapi pada saat dia mendengar kabar tentang revolusi, dia tidak mengkhawatirkan Jusman ataupun membersihkan noda darahnya yang terdapat di dirinya tetapi Larasati lebih memilih untuk melanjutkan membaca koran untuk mencari-cari berita terbaru tentang revolusi yang sedang terjadi.Ketika hal itu terjadi, Lasmidjah ibunya Larasati memarahi Larasati akan ketidakpeduliannya pada Jusman yang sedang terluka, secara tidak langsung Lasmidjah ingin Larasati menjenguk Jusman dan merawatnya dan untuk melupakan semuanya tentang revolusi
Dalam novel ini ada kata-kata yang menunjukkan perasaaan superior penjajah kepada terjajah. Bangsa terjajah dianggap berbeda dari penjajah. Inilah bentuk-bentuk marginalisasi dari pejajah. Misalnya orang kulit hitam dan orang kulit putih, republikein dan Belanda, pengkhianat dan pejuang, serta lain-lain.Diskriminasi Identitas dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer
Salah satu bentuk dari sikap diskriminasi penjajah terhadap adalah pelecehan terhadap perempuan. Mereka memposisikan perempuan jauh dari martabat kewanitaannya. Perempuan dianggap sebagai objek kaum laki-laki karena mereka orang yang lemah. Dengan pandangan seperti ini mereka memperlakukan perempuan dengan sangat diskriminatif.
Diskriminasi berarti setiap tindakan memisahkan seseorang dari sebuah organisasi, lingkungan, masyarakat atau kelompok orang berdasarkan kriteria tertentu. Dalam arti luas, diskriminasi adalah cara untuk mengurutkan dan mengklasifikasikan entitas lain. Diskriminasi dapat merujuk ke bidang apapun, dan dapat menggunakan kriteria apapun. Diskriminasi ini mengacu kepada "pengecualian pembedaan, atau pembatasan berdasarkan asal etnis atau nasional, jenis kelamin, usia, kecacatan, status sosial atau ekonomi, kondisi kesehatan, kehamilan, bahasa , agama, opini, orientasi seksual, status perkawinan atau lainnya, memiliki efek merugikan atau meniadakan pengakuan atau pelaksanaan hak-hak dan kesetaraan kesempatan bagi orang-orang. "Namun, diskriminasi merujuk pada tindakan membedakan atau segregasi yang merongrong kesetaraan (http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2308850-definisi-diskriminasi/#ixzz2c6ZN00Qz). Seperti dalam kutipan berikut.“Pestol sersan itu mengkilat, lebih hitam dari semestinya. “Buka baju!”perintah sersan mengkilat itu. “Buat apa?”Larasati memberontak.”Buat apa?Buka semua!Cepat!Anjing-anjing Soekarno suka berlagak goblol.” Garang benar kelihatannya, pikir Larasati.Dia Cuma pembunuh bayaran.Mereka melihat aku sebagai anjing.....Kalau Cuma cari makan dan pakaian, mengapa jadi pembunuh dan penghina orang”.( D I 17 ). Berdasarkan kutipan di atas dijelaskan bagaimana opsir itu memperlakukan Larasati.Larasati sebagai seorang perempuan betul-betul diinjak harga dirinya sebagai seorang perempuan. Opsir itu merasa lebih tinggi derajatnya dan mempunyai kekuasaan untuk memerintah apa saja kepada siapa saja termsuk kepada Larasati. Sebuah perintah yang sangat melecehkan kaum perempuan. Perempuan dijadikan sebagai objek seks dengan cara disuruh membuka baju.Perlakuan diskriminasi yang paling menghinakan Larasati adalah saat dia bertemu dengan Djusman. Dialah seorang pengkhianat bangsa dengan menjadi pengikut Belanda. Djusman menjadi pemimpin untuk membunuh rakyat dan para pejuang republik. Saat melihat kecantikan Larasati dia ingin segera memilikinya.  Karena dia merasa berkuasa sehingga apa yang dia inginkan harus didapat, inilah karakter penjajah. Seperti kutipan berikut.“Ah, kemarin kami tunggu-tunggu tidak datang juga. Jadi diangap apa aku ini?.( D I 18 ). Berdasarkan kutipan di atas menunjukkkan bahwa Djusman sebagai orang laki-laki dan pengikut Belanda merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan Larasati. Dia merasa harus dianggap lebih tinggi oleh Larasati.Ternyata pelecehan dan diskrimantif  Djusman tidak hanya berhenti disini. Ketika suatu waktu Larasati dalam kondisi yang sangat lemah, Djusman mengetahui kondisi Larasati kemudian Djusman mendatangi dia untuk dibawa ke rumahnya. Seperti halnya kutipan berikut.“Tak ada satu kekuatan dapat menghalangi aku, Ara.Kau kepunyaanku sekarang”...”Mari kutunjukkan kamarmu.”“Ini kamarmu.Kau tinggal dan tidur di sini.Ini kamarmu. Kau dengar ara? Dan Juga Kamarku.” .( D I 19 ). Kutipan di atas di gambarkan perbuatan Djusman terhadap Larasati yang paling menyakitkan pribadi Larasati sebagai seorang perempuan. Dia dipaksa tinggal satu rumah dan satu kamar serta dijadikan budak nafsu dari Djusman. Namun Larasati tidak sedikitpun berubah identitasnya sebagai seorang republikein atau pejuang. Hal ini terlihat dari percakapan Djusman.Ia kocok matanya. Ia hendak melompat turun. Tetapi tubuh hitam panjang di sampingnya itu kembali menangkap pergelangannya… “ Apa lagi  mau kau lawan?” pemuda itu mengejek. Ara diam saja….sekarang tak ada lagi permusuhan,” Jusman meneruskan. “ yang ada sekarang Cuma satu: kepatuhan. Bang siapa tak sanggup patuh, dia dihancurkan.” (D I 20 ).Kutipan di atas menggambarkan tokoh Ara yang di jadikan tawanan seorang tawanan yang tidak boleh melawan dan harus patuh jika tidak patuh maka siapa saja bisa di hancurkan termasuk Ara. Ara  di tawan dan di jadikan budak untuk menjadi pemuas hawa nafsu dan akan di jadikan bintang film untuk film propaganda Belanda. Seperti .dalam kutipan berikut“Aku hanyalah tawanan yang dipekerjakan.” “tawanan!”pemuda itu berseru....”jadi kau orang Republik”. ( D I 21). Kutipan di atas dijelaskan bahwa Larasati berada di rumah Djusman sebagai tawanan yang di perbudaknya, tidak ada sedikitpun niat untuk   mengkhianati bangsa dan ia tetap meneruskan perjuangannya untuk tanah air selama ini.    
Waktu itu Ara sedang berada di kamar. Ia sedang merenung, ke luar jendela. Segera Jusman menghampiri dan dengan kasar ditariknya tangan Ara, dipeluk dan diciumnya. Tak pernah Ara mengalami perlakuan sekasar dan juga segairah itu. ( D I 22 ). Berdasarkan kutipan di atas jelas digambarkan bahwa Ara sebagai seorang wanita yang telah di tawan dan di perlakukan kasar serta semena-mena sesuka hati oleh Jusman, ‘dengan kasar ditariknya tangan Ara, dipeluk dan diciumnya’ hal ini jelas merupakan pelecehan terhadap  perempuan, karena statusnya bukan apa-apa hanya dijadikan pelampiasan nafsunya. Seperti yang dikatakan dalam kutipan berikut.“ Antara aku dan kau tidak ada salah paham. Tetapi kesalahan benar-benar. Kau telah rampas kemerdekaanku. Kau telah tawan aku.”….“Apamu aku ini?”“Kau?” pemuda itu tertawa perlahan. Tetapi mata itu kian berkobar-kobar menyalakan nafsu birahinya. Ia tangkap tubuh Ara dan dilemparkan ke ranjang. ( D I 23 ). Dalam novel ini diawali dengan menampilkan lebih banyak bagaimana para tokoh menunjukkan identitas dirinya baik sikap, gaya hidup atau pikirannya serta rasa cinta kepada tanah air. Mereka tidak larut dan terpengaruh oleh penjajahan baik dalam sikap, gaya hidup maupun pikirannya. Mereka tetap menampakkan jati dirinya bahwa mereka adalah rakyat Republik Indonesia yang mencintai tanah air. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kutipan bawah ini. “Larasati tersenyum dan disentuhnya pipi opsir itu dengan sambil lalu. Tapi dalam bayangannya terbentang hari depan yang gilang-gemilangdi daerah pendudukan Nica. Ia akan terjun kembali di gelanggang film......Tapi ia berjanji dalm hatinya tidak bakal aku main untuk propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi revolusi. Aku akan main film yang ikut menggempur penjajahan”       (  D I 24 ).Kutipan di atas menggambarkan bahwa Larasati yang dalam roman ini disebut dengan nama Ara adalah seorang bintang film yang sangat terkenal. Dengan status sosialnya mestinya dia akan dapat melakukan apa saja untuk kepentingan pribadinya. Tetapi dilihat dari kenyataannya bangsa penjajah sangat membutuhkan sosoknya seorang Larasati yang akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi bahkan menanamkan pikiran-pikiran penjajah terhadap rakyat yang terjajah.
 Seperti yang akan dilakukan melalui media film, penjajah menganggap bahwa media film adalah media yang sangat efektif dibandingkan dengan media-media yang lain dalam memasukkan ideologi, pikiran, sikap, dan perilaku terjajah terhadap terjajah. Tawaran ini sangat menggiurkan bagi siapa saja termasuk bagi Larasati sehingga dia sempat berkata’...dalam bayangannya terbentang dari depan gilang-gemilang dipendudukan Nica’. Namun Ara cepat sadar dan terus menerus menyatakan penentangannya terhadap penjajah. Dia tidak mau menjual tanah airnya untuk kepentingan sendiri. Sikap ini diperkuat dengan ungkapannya sebagai berikut.
“Tapi biar bagaimanapun,aku tidak akan berkhianat. Aku juga punya tanah air. Jelek-jelek tanah airku sendiri, bumi dan manusia yang menghidupi aku selama ini. Cuma binatang ikut Belanda” ( D I 25 ).Dari kutipan di atas memunculkan sikap Larasati sebagai seorang yang melawan penjajah tidak hanya itu Larasati pun mengakui seberapa jeleknya tanah airnya akan tetapi dia juga tersadar seberapa dia berhutang terhadap tanah airnya yang telah menghidupi dia selama ini dan hanyalah binatang yang merelakan menjual tanah air kepada Belanda untuk hidup yang berkecukupan.Di mata Larasati hanyalah binatang yang tega menyerah kepada para penjajah apalagi bila tujuannya adalah karena kepuasaan sendiri atau barang-barang material yang ditujunya. Penulis menunjukkan bahwa seorang penghianat adalah manusia-manusia yang tidak mencintai dirinya sendiri, mereka lebih memilih menjual negaranya kepada pejajahan Belanda daripada membelanya.Aku, Larasati, bintang Ara. Sedangkan sebutan Miss pun aku tak pernah pakai. Ara! Cukup Ara. Mengapa mesti dengan Miss? Sebutan itu hanya akan membuat aku berkulit putih…… ( D I 26 ).Kutipan di atas menjelaskan bahwa beberapa orang memanggil dia dengan sebutan “Miss” tetapi Larasati menolaknya dan tidak menyukai menggunakan status “Miss”, karena dia adalah orang Indonesia bukanlah orang Belanda atau Barat. Larasati lebih memilih dipanggil dengan sebutan “Ara” yang adalah potongan dari namanya Larasati.Arasendiri berarti cantik. Cinta Larasati kepada tanah airnya, telah ia buktikan dengan perjuangannya turut serta dalam melawan penjajah.Larasati akhirnya mendukung revolusi dengan caranya sendiri yaitu sebagai artis atau seniman. Dia menyebarkan semangat revolusi kepada berbagai macam orang yang dia temui di jalan dan juga menggunakan status artisnya untuk memperkuat dukungan revolusi. Bagi Larasati revolusi adalah sesuatu yang seharusnya didukung, apalagi apabila revolusi untuk negaranya sendiri. Apabila seseorang jatuh cinta pasti, seseorang itu akan berjuang mati-matian untuk membela cintanya. Seperti kutipan dibawah ini.
“Jadi kau tetap republikein. Tidak pernah punya niat masuk NICA?...Aku percaya padamu. Karena itu aku datang padamu..Engkau seniman yang ikut dalam revolusi” ( D I 27 ).
 “Kalau revolusi menang,kau akan dengar namau sebagai seniman, sebagai pengarang. Aku banyak dengar tentangmu. Kau bisa berjuang lebih baik dengan senimu...Kau memang hebat” (D I 28 ).
Dari kedua kutipan di atas ditegaskan bahwa dialog antara opsir dan Larasati mereka sama-sama mempunyai identitas sebagai pejuang  yang menentang penjajah. Bahkan sang Opsir pun tidak mau menyebut namanya. Ia tidak ingin dikenal. Itu bukti bahwa dia berjuang dengan ikhlas tanpa pamrih, ia perwira seorang pejuang sejati ‘Setiap republikein mestiya republikein sejati” itulah yang dikatakan oleh Opsir tersebut kepada Larasati.
Ungkapan ini sekali lagi menegaskan bahwa para pejuang tidak hanya mempunyai identitas sebagai pejuang penentang penjajah tapi harus ditambah dengan identitas sejati. Itulah karakter nasionalisme sejati atau republikein sejati. Bentuk-bentuk perlawanan juga ditunjukkan oleh seorang kakek yang sudah tua renta. “Uang jaya!Jaya!Seratus Jepang, datu Republik, uang jaya.”...Ori uang tanpa bahasa Belanda, mengalahkan uang Jepang dan Merah”....Betapa mereka mengagumi lembaran uang perwujudan revolusi tu” ( D I 29 ).Kutipan di atas menunjukkan identitas bangsa, Sang kakek merasa sangat bangga dengan ORI ( Oeang Republik Indonesia s). Ini menunjukkan bahwa dia sangat mencintai republik sebagai tanah airnya dan sangat membenci Belanda dan Jepang sebagai penjajah. Inilah identitas tanpa keraguan. Sementara itu Larasati menunjukkan identitas dirinya tidak hanya dengan ucapan tapi dengan tindakan ikut bertempur melawan kekuasaan Belanda.“Perlahan-lahan Lasmidjah memulai, ‘Benar-benar kau ikut bertempur tadi?’
“Ya”.
“Kau tidak takut?”.
“Takut.”.
“Kau menangis?”. “Menangis.” ( D I 30 ).
Kutipan di atas menunjukkan identitas seseoarang, seperti Lasmidjah menunjukkan identitasnya sebagai orang tua yang kurang mendukung anaknya dalam membela tana airnya.  Sementara itu Larasati menunjukkan identitas dirinya sebagai pejuang tidak hanya dengan ucapan tapi dengan tindakan ikut bertempur melawan kekuasaan Belanda.SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer terdapat kajian postkolonial mimikri, margginalitas, diskriminasi dan identitas postkolonial, dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer. Telah dilakukan penelitian dan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.         Mimikri dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer peniruan sikap orang Indonesia yang lebih suka menirukan bangsa penjajah dengan sikap arogan, membentak, menghardik, memerintah dengan paksa dan menodongkan pistolnya kepada sesama rakyat Indonesia sebangsa setanah air.2.        Marginalitas dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer adalah tedapat kelompok-kelompok masyarakat yang dipinggirkan karena status sosialnya dianggap rendah.  Upaya yang dilakukan oleh penjajah untuk melakukan tindakan-tindakan hegemonik, seperi Hutang balas budi yang menunjukkan bahwa orang timur tidak berdaya dihadapan penjajah karena mereka seolah-olah telah melakukan kebaikan.3.        Diskriminasi identitas dalam Novel Larasati Karya Pramoedya Ananta Toer ialah Larasati. Ia diposisikan sebagai orang pribumi yang mempunyai identitas kebangsaan berlawanan dengan tokoh protagonis seperti Kolone Suryo Sentono dan Djusman yang berpihak pada penjajah. Sikap perendahan terhadap perempuan, mereka memposisikan  perempuan jauh dari martabat kewanitaannya. Perempuan dianggap sebagai objek kaum laki-laki karena mereka orang yang lemah. Bentuk identitas dirinya baik sikap, gaya hidup atau pikirannya serta rasa cinta kepada tanah air. Mereka tidak larut dan terpengaruh oleh penjajahan baik dalam sikap, gaya hidup maupun pikirannya. Mereka tetap menampakkan jati dirinya bahwa mereka adalah rakyat Republik Indonesia yang mencintai tanah air. DAFTAR PUSTAKAEndraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra (edisirevisi). Yogyakarta : Med Press.Faruk. 2001. Beyond Imagination.Yogyakarta :Gama Media.______ 2007. Belenggu Pasca-Kolonial.Yogyakarta :PustakaPelajar.______ 2013. Teori Postkolonial. (Makalah Pelatihan  Analisis Budaya) Tidak diterbitkan.Foulcher, Keith & Tony Day. 2008. Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra  Indonesia  Modern. Jakarta: Yayasasan Obor  Indonesia dan KITLV Press.http://ikhsankurnia.blogspot.com/2011/12/teori-marginalisasi-masyarakat.html.
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2308850-definisi-diskriminasi/ #ixzz2c6ZN00Qz.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002.Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.Ratna, Nyoman Kuntha. 2007. Sastra Dan Cultural Studies. Yogyakarta: Puastaka Pelajar.
______2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra.Yogyakarta :Pustaka Pelajar.______ 2009. Teori ,Metode Dan Teknik Pelatihan Sastra. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.Semi, Antar. 1988.Anatomi Sastra. Padang. Angkasa Raya.Suroso dkk.2008.Kritik Sastra.Yogyakarta :Elematera. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Indonesia Dipelajari oleh Banyak Negara