KEBERADAAN OBJEK DAN NILAI BAHASA BAGI KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
KEBERADAAN
OBJEK DAN NILAI BAHASA BAGI KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
Oleh
CITRA PHILOSIA SOEHARTO (1120717004)
DWI ISTIQOMAH (1120717008)
LIA SUCI MURNI (1120717022)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA STKIP PGRI PACITAN
2014
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk keberadaan
objek dan nilai bahasa bagi kehidupan bermasyarakat. Bahasa
digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan manusia lain guna menjalin
kerja sama dan memecahkan atau menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang
dihadapi manusia. Bahasa adalah
alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia.
Bahasa
dipengaruhi oleh objek dan nilainya. Ontologikal meningkatkan pemahaman manusia mengenai sifat dasar berbagai
benda yang akhirnya akan menentukan pendapat bahkan keyakinannya mengenai apa
dan bagaiman kebenaran itu dicari. Dengan ontologikal akan menimbulkan
pembahasan sesuatu yang bersifat konkret. Aksiologi bahasa merupakan kegunaan
bahasa dalam menciptakan rasa aman dan kesejahteraan manusia. Dari hasil objek
dan nilai bahasa terlihat jelas bahwa kajian
bahasa dibutuhkan ahli bahasa yang setiap hari berkreasi dengan objek bahasa,
sedangkan nilai dan kegunaan bahasa dalam menciptakan rasa aman dan
kesejahteraan manusia.
Kata Kunci : Bahasa, Objek, Nilai, Filsafat
A.
Latar
Belakang
Menurut
Sarwiji (Hendriyatno, 2013:21) mengemukakan bahwa bahasa digunakan oleh manusia
untuk berinteraksi dengan manusia lain guna menjalin kerja sama dan memecahkan
atau menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi manusia. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin
ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk
mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang
mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah
disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan
sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan
dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.
fungsi
bahasa ialah sebagai alat untuk mengkomunikasikan suatu gagasan kepada orang
lain.
Setiap gagasan yang dihasilkan
seseorang tidak akan diketahui oleh khalayak manakala tidak dikomunikasikan
melalui bahasa. Meskipun diakui bahwa bahasa mungkin dipakai untuk melaksanakan
banyak fungsi komunikasi, mereka tetap menciptakan anggapan umum bahwa fungsi
bahasa yang paling penting adalah penyampaian informasi. Bahasa tidak saja
sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antar manusia,
tetapi juga bahasa mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya bahwa
bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dari kehidupan manusia. Bahasa
pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan urutan
bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya non empiris.
Filsafat sebagai suatu aktivitas manusia yang berpangkal pada akal pikiran
manusia untuk menemukan kearifan dalam hidupnya. Mempelajari
filsafat bahasa berarti berlatih secara serius untuk mampu menyelesaikan suatu
persoalan yang sedang dihadapi dengan cara mencari jawaban secara tuntas dan
logis. Oleh karena itu perlu adanya penelitian keberadaan objek dan nilai
bahasa bagi kehidupan bermasyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
Dengan menganalisis judul yang telah
penyusun paparkan, dalam artikel ini akan dibahas rumusan : keberadaan
objek dan nilai bahasa bagi kehidupan bermasyarakat ?
C.
Tujuan
Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan dalam penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan dan mendeskripsikan keberadaan
objek dan nilai bahasa bagi kehidupan bermasyarakat.
D.
Landasan Teori
1.
Bahasa
Menurut
Gorys Keraf (1997:1), bahasa
adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan
bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka
menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan
mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.
Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi
mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua
alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah. Bahasa memberikan kemungkinan yang
jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan
media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan
simbol atau perlambang.
Menurut Felicia (2001:1), dalam berkomunikasi
sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik
bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama
bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari
bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang
Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
2.
Ontologikal
Ontologi
membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu
pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan
dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang telah
ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena objeknya
adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manuskia yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan
dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri
hanya kepada kejadian-kejadian yang empiris, selalu berorientasi terhadap dunia
empiris.
Dilihat
dari landasan ontologi, maka ilmu akan berlainan dengan bentuk-bentuk
pengetahuan lainnya. Ilmu yang mengkaji problem-problem yang telah diketahui
atau yang ingin diketahui yang tidak terselesaikan dalam pengetahuan
sehari-hari. Masalah yang dihadapi adalah masalah nyata. Ilmu menjelaskan
berbagai fenomena yang memungkinkan manusia melakukan tindakan untuk menguasai
fenomena tersebut berdasarkan penjelasan yang ada.
Ilmu
dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan bukan dimulai dari kepastian,
sehingga berbeda dengan agama yang dimulai kepastian. Ilmu memulai dari
keragu-raguan akan objek yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek
pengenalan ilmu mencakup kejadian-kejadian atau seluruh aspek kehidupan yang
dapat diuji oleh pengalaman manusia.
Jadi
ontologi ilmu adalah ciri-ciri yang essensial dari objek ilmu yang berlaku
umum, artinya dapat berlaku juga bagi cabang-cabang ilmu yang lain.
3.
Aksiologi
Aksiologi
berasal dari kata axios dalam
bahasa yunani artinya nilai, dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian,
dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah ‘ilmu tentang nilai’. Sedangkan menurut beberapa ahli
sebagaimana yang dikutib oleh Mohammad Zamroni (Zamroni. 2009: 101) adalah
sebagai berikut:
a.
Jujun. S Suriasumantrih : Aksiologi berarti teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
b.
Bramei : Aksiologi terbagi dalam 3 bagian
penting, antara lain:
·
Tindakan moral yang melahirkan etika
·
Ekspresi keindahan yang melahirkan
estetika
·
Kehidupan sosial politik yang melahirkan
filsafat sosial politik
c.
Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan
dengan ‘value’ dan valuation dalam hal ini nilai dianggap sebagai nilai memberi
nilai dan dinilai.
d.
Richad Laningan mengatakan bahwa aksiologi merupakan
kategori keempat dalam filsafat merupakan studi etika dan estetika. Hal ini
berarti bahwa aksiologi berfokus pada kajian terhadap nilai-nilai manusiawi
serta bagaimana cara mengekspresikanya.
e.
Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai
tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.
f.
Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja,
2006: 155-157) memberikan
definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi
dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering
dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara
moral.
g.
Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi
terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian
filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan
estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang
karya manusia dari sudut indah dan jelek.
h.
Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai
ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut
pandang kefilsafatan.
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat kita analisa secara garis besar bahwa teori
tentang nilai (aksiologi) dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.
Nilai
itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan
objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi
subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia
menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan
yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
E.
Hasil
dan Pembahasan.
Ontologikal
meningkatkan pemahaman manusia mengenai sifat dasar berbagai benda yang
akhirnya akan menentukan pendapat bahkan keyakinannya mengenai apa dan bagaiman
kebenaran itu dicari. Dengan ontologikal akan menimbulkan pembahasan sesuatu
yang bersifat konkret. Rizal Mustansyir (Hendriyanto, 2013:37) menyebutkan
bahwa objek material filsafat bahasa adalah bahasa yang digunakan dalam
filsafat. Objek formal filsafat adalah tinjauan secara filsafat.
Menurut
Verhaar (2001:7) bahasa dijadikan objek ilmu bahasa untuk membedakan antara
bahasa tutur dan bahasa tulis. Bahasa tutur menjadi objek primer dan bahasa
tulis menjadi objek sekunder dalam bahasa. Suriasumantri (1987) mengemukakan
bahasa fakta empiris adalah fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan
mempergunakan panca inderanya. Ruang lingkup kemampuan panca indera manusia
dikembangkan menjadi dunia empiris. Contohnya orang yang bermimpi dalam
tidurnya dan tidak bisa diuji oleh alah indera manusia. Akan tetapi, jika ilmu
bahasa berkembang dengan cepat bisa jadi akan ditemukan alat untuk merekam
aktivitas mimpi manusia. Orang bermimpi berbeda dengan orang mengigau. Orang
mengigau masih dapat direkam ucapan yang keluar, hal tersebut dapat dijadikan
acuan dalam penyelidikan bahasa yang berhubungan dengan psikologi.
Suriasumantri
(Hendriyanto, 2013:39) mengemukakan bahwa ilmu memiliki 3 asumsi mengenai objek
empiris. Asumsi pertama : objek tertentu mempuyai keserupaan satu sama lain
dalam hal bentuk, struktur, dan sifat. Asumsi kedua : menganggap bahwa suatu
benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, sehingga kegiatan
keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam keadaan tertentu.
Asumsi ketiga : menganggap bahwa tiap gejala merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan tiap gejala memiliki pola dengan urutan kejadian yang sama.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan bagian dari ilmu
pengetahuan yang memiliki 3 asumsi. Oleh karena itu dalam kajian bahasa
dibutuhkan ahli bahasa yang setiap hari berkreasi dengan objek bahasa.
Beralih
pada aksiologi, aksilogi berasal dari bahasa Yunani dengan kata axios berarti nilai dan logos berarti ilmu. Menurut Kamus Besar
Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia,
kejian tentang nilai-nilai khususnya etika (Wihadi, 1998). Jadi dari penjelasan
di atas dapat ditarik benang lurusnya bahwa aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat dari pengetahuan. Pembahasan aksiologi
menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Maka cabang filsafat ini mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Bahasa
menurut Sarwiji (Hendriyanto, 2013:21) menyatakan bahasa adalah alat yang
dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan
alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Para ahli linguistik mengartikan
bahasa sebagai ilmu sistem tanda atau lambang bunyi yang arbitrer yang
digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan
mengidentifikasi diri.
Dari
definisi aksiologi dan bahasa dapat diambil definisi baru yaitu aksiologi
bahasa. Aksiologi bahasa merupakan kegunaan bahasa dalam menciptakan rasa aman
dan kesejahteraan manusia. Kegunaan bahasa dalam lingkungan masyarakat,
contohnya : penyampaian pendapat warga tentang pemilihan ketua RT. Penyampaian
pendapat tersebut harus menggunakan bahasa yang jelas dan untuk menolak
pendapat maka seseorang harus menggunakan bahasa yang halus yang tidak
menyinggung perasaan orang lain. Kegunaan inilah yang menimbulkan konflik yang
dapat memecahkan hidup rukun dengan warga sekitar. Dengan demikian
kesejahteraan pun melingkupi dengan secara otomatis. Kegunaan bahasa tidak
terlepas dari penilaian. Cara sesorang menilai baik secara objektif maupun
subjektif tentu akan mempengaruhi kegunaan bahasa itu sendiri.
F.
Simpulan
Dari
artikel di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah
alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia. Ontologikal berdasarkan objek yang telah ditelaahnya,
ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena objeknya adalah sesuatu
yang berada dalam jangkauan pengalaman manuskia yang mencakup seluruh aspek
kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Hal itu menjadikan bahasa sebagai objek ilmu
bahasa yang digunakan untuk membedakan antara bahasa tutur dan bahasa tulis. Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Maka cabang filsafat ini
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Bahasa adalah alat yang
dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan
alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Maka aksiologi bahasa
merupakan kegunaan bahasa dalam menciptakan rasa aman dan kesejahteraan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendriyanto, Agoes. 2013. Filsafat Bahasa. Surakarta : Yuma
Pressindo.
Permana,
Dimas. 2012. Fungsi Bahasa Sebagai Alat Komunikasi.http://dmsprmn.blogspot.com/2012/10/fungsi-bahasa-sebagai-alat-komunikasi.html,
diunduh pada tanggal 10 Juli 2014, jam 19.07.
S. Suriasumantri. Jujun.2007. Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer). Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Wihadi, Admojo. 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka.
Zamroni,
Mohammad. 2009. Filsafat
Komunikasi: Pengantar Ontologis, Epistemologis, Aksiologi. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar